Mohon tunggu...
zaenal budiyono
zaenal budiyono Mohon Tunggu... -

a political analyst and writer

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menuju Indonesia Terhormat

17 Agustus 2010   12:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:57 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Situasi ini merupakan paradoks dari sistem presidensial yang kita pilih. Terlalu kuatnya DPR membuat pemerintah tak dapat bekerja maksimal karena parlemen yang merupakan kubangan kepentingan (partai partai) akan sulit menemui konsensus.

Apalagi jika partai-partai di sana jumlahnya lebih besar maka upaya menemukan "tujuan nasional" dan operasionalnya akan makin sulit. Oleh karenanya kita amat mendukung jika ide penyederhanaan partai pada 2014 mendatang benar-benar terbukti. Hanya saja kita patut pesismis --berdasarkan pengalaman 2004 dan 2009, karena kerap kali jelang pemilu UU Pemilu selalu mengalami revisi. Perubahan yang memungkinkan multipartai kembali digunakan.

Kedua, kurang konsistennya elit dalam menjaga janji-janjinya kepada rakyat. Kita tahu setiap pemilu digelar hampir semua partai menawarkan "mimpi" Indonesia sejahtera, pengurangan pengangguran, dan kemiskinan hingga peningkatan pelayanan kesehatan. Namun, setelah pemilu usai tak banyak yang ingat akan janji tersebut.

Setelah masing-masing duduk manis di parlemen dan eksekutif janji tinggal janji. Inilah yang menurut Lee membuat Indonesia sulit keluar dari jeratan krisis. Padahal, jika mau kita bisa lebih cepat dari capaian saat ini.

Ketiga, daya saing investasi kita relatif lemah di kawasan. Bandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Kedua negara tersebut mampu menampilkan birokrasi yang efisien sehingga menarik minat investor. Di Indonesia tak demikian. Oleh karena birokrasi justru menjadi faktor penghambat yang paling besar.

Setelah itu tantangan kita adalah menekan pungutan liar (biaya siluman) yang mengakibatkan high cost economy. Praktek semacam ini telah berlangsung lama. Berdasarkan hasil survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) dan Bank Dunia 2005 pungutan liar yang harus dibayar diperkirakan mencapai 800 juta Solar AS. Itu baru di satu sektor. Belum total keseluruhan.

Jika Wickner dan Miurin menggunakan istilah keberhasilan bangsa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memperkenalkan istilah negara terhormat untuk titik yang akan kita tuju di masa depan. Pembangunan tidak melulu hanya angka pertumbuhan dan material. Tetapi, lebih dari itu. Berupa kebanggan dan kehormatan kita sebagai warga negara. Untuk menuju negara terhormat Presiden mensyaratkan sepuluh komponen yang harus dipenuhi.

Pertama, bangsa yang terhormat hanya bisa dicapai jika kemiskinan bisa dikalahkan. Rakyat harus dibantu oleh pemerintah untuk lepas dari kemiskinan. Terutama kemiskinan absolut.

Kedua, terciptanya kestabilan dan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Semakin sering terjadi gejolak maka kehormatan sebuah bangsa di mata bangsa lainnya akan menurun.

Ketiga, terciptanya iklim yang demokratis. Demokrasi dimaksud dalam arti kebebasan, freedom, dan penghargaan terhadap aspirasi rakyat. Namun, harus dipahami kebebasan dalam demokrasi juga dibatasi oleh pranata sosial maupun hukum. Pranata ini bukan dalam rangka menghambat demokrasi melainkan memberikan rel sehingga perkembangan demokrasi mengalami peningkatan secara kualitas.

Keempat, distribusi ekonomi yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh negara dan swasta harus sehat. Jeratan utang yang tinggi tidak boleh terjadi lagi karena akan membebani masa depan generasi mudanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun