Secara sederhana, sinar kosmik berpengaruh pada kepadatan awan menutup bumi melalui ionisasi dan proses aerosol yang menyertainya [Svensmark dkk, 2016]. Dengan demikian, aktivitas matahari, secara tidak langsung, berpengaruh pada pembentukan awan melalui modulasi sinar kosmik yang diizinkan menerpa bumi.
Sebagai catatan: beberapa serpihan dari sisa-sisa tumbukan sinar kosmik di atmosfer, khususnya akibat spalasi neutron dan atom nitrogen, menghasilkan berbagai radioaktif seperti Carbon-14 (14C) yang jejaknya bisa diteliti pada berbagai benda di bumi, bahkan pada tubuh manusia. Partikel inilah yang sering digunakan para peneliti untuk membaca sejarah bumi—bahkan sejarah langit—di masa lalu.
Siklus 11 tahunan matahari bukan satu-satunya siklus langit yang berpengaruh di bumi. Trayektori turun naik orbit matahari mengelilingi pusat galaksi Bimasakti dalam siklus 64 juta tahun, juga tercermin dalam sejarah iklim di bumi. Demikian pula orbit bumi mengelilingi matahari dalam bentuk elips, yang dikenal dengan Milankovitch Cycle, berdampak pada terjadinya periode glacial-interglacial dalam siklus 100 ribu tahunan (eccentricity), siklus 41 ribu tahunan (axial tilt), dan siklus 26 ribu tahunan (precession).
Bumi hanyalah setitik debu dalam angkasa raya yang luas. Namun, seluruh angkasa raya dapat diamati di bumi, di tanah tempat kita berpijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H