Mohon tunggu...
Zaduna Fiddarain
Zaduna Fiddarain Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Surakarta

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelajaran Kasih Sayang dan Kebijaksanaan dalam Dialog Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf

16 Juli 2024   14:20 Diperbarui: 16 Juli 2024   14:30 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam setiap kisah para nabi yang diceritakan dalam Al-Qur'an, terdapat banyak pelajaran dan hikmah yang berharga. Salah satu kisah yang penuh makna adalah dialog antara Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf yang ada di Surah Yusuf ayat 4-5. Dialog ini bukan hanya percakapan biasa antara ayah dan anak, tapi juga menunjukkan cinta, kasih sayang, dan kebijaksanaan yang mendalam.

Nabi Yusuf, dengan penuh rasa hormat dan kasih, menceritakan mimpinya kepada ayahnya, Nabi Ya'qub. Mimpi itu menggambarkan masa depan yang penuh arti dan tanda-tanda penting. Nabi Ya'qub, sebagai seorang nabi yang bijak dan ayah yang penuh kasih, memberikan nasihat yang berisi kewaspadaan dan perlindungan. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya komunikasi penuh kasih dalam keluarga dan bagaimana nasihat yang bijak dapat melindungi dan membimbing anak-anak. Dengan melihat lebih dalam pada ayat-ayat ini, kita bisa belajar tentang cinta dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf, serta bagaimana hal ini relevan dalam kehidupan kita sekarang.

Kasih sayang dan hikmah dalam dialog Nabi Ya’qub dan Nabi Yusuf terdapat dalam surah Yusuf ayat 4-5:

إِذۡ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ إِنِّي رَأَيۡتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوۡكَبٗا وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ رَأَيۡتُهُمۡ لِي سَٰجِدِينَ ۝ قَالَ يَٰبُنَيَّ لَا تَقۡصُصۡ رُءۡيَاكَ عَلَىٰٓ إِخۡوَتِكَ فَيَكِيدُواْ لَكَ كَيۡدًاۖ إِنَّ ٱلشَّيۡطَٰنَ لِلۡإِنسَٰنِ عَدُوّٞ مُّبِينٞ ۝

Artinya: "(Ingatlah) ketika Yusuf berkata kepada ayahnya (Ya‘qub), “Wahai ayahku, sesungguhnya aku telah (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan. Aku melihat semuanya sujud kepadaku.” Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu karena mereka akan membuat tipu daya yang sungguh-sungguh kepadamu. Sesungguhnya setan adalah musuh yang jelas bagi manusia.”

Ayat ke-4 mengisahkan Nabi Yusuf ketika masih kecil menceritakan mimpinya yang terjadi pada malam Lailatul Qadar, tepatnya pada malam Jumat. Dalam mimpinya itu, ia melihat sebelas bintang, bulan, dan matahari bersujud kepadanya. Sujud tersebut dimaksudkan sebagai sebuah penghormatan dan apresiasi, bukan sebagai bentuk pengkultusan atau ibadah. Menurut pendapat lain, sujud yang dimaksud di sini adalah menundukkan kepala atau semacam penghormatan yang lazim dilakukan di Mesir pada saat itu. Menurut penafsiran Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, mimpi para nabi adalah wahyu, dan dalam konteks ini, sebelas bintang tersebut melambangkan saudara-saudara Nabi Yusuf yang berjumlah sebelas, sedangkan matahari dan bulan melambangkan ayah dan ibunya.

Pada kata "يَٰٓأَبَتِ" (Ya Abati) merupakan sebuah panggilan akrab dari seorang anak kepada ayahnya. Dalam bahasa Arab, "abati" adalah panggilan yang penuh dengan rasa sayang dan hormat dari seorang anak kepada ayahnya. Menurut Thabathaba’i, Nabi Yusuf kecil, yang hatinya dipenuhi dengan kesucian dan kasih sayang terhadap ayahnya, memanggil ayahnya dengan panggilan yang menunjukkan kejauhan dan penghormatan, diawali dengan kata "Ya" (يا) yang berarti "wahai", dan kemudian diikuti dengan kata "abati" (أَبَتِ) yang berarti "ayahku", yang mencerminkan kedekatan Nabi Yusuf dengan ayahnya. Kedekatan anak dengan seorang ayah diakui dalam ayat ini, di mana tidak disebutkan nama ayah, melainkan kedudukannya sebagai orang tua. Ayat ini tidak menyebutkan “Ingatlah ketika Yusuf berkata kepada Ya’qub”, melainkan “ingatlah ketika Yusuf berkata kepada ayahnya”.

Nabi Ya’qub, sebagai seorang nabi yang memiliki kelebihan dalam merasakan dan memahami keadaan anaknya, menyadari anugerah besar yang akan diterima oleh Nabi Yusuf. Dengan penuh kasih sayang, beliau berkata "يَٰبُنَيَّ" (Bunnayya), yang merupakan bentuk tashgir atau perkecilan dari kata "ibnii" yang berarti "anakku". Bentuk kata ini digunakan untuk menunjukkan kasih sayang yang diberikan kepada anak kecil, dengan maksud untuk menggambarkan kemesraan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika memberikan gelar kepada salah seorang sahabatnya dengan gelar Abu Hurairah. Kata "هريرة" (Hurairah) merupakan bentuk perkecilan dari kata "هرّ" (hirrah) yang berarti "kucing", karena pada saat itu seorang sahabat sedang bermain dengan seekor kucing.

Dalam ayat ke-5, Nabi Ya’qub menjelaskan perkataannya kepada Nabi Yusuf mengenai mimpinya. Perkataan tersebut menandakan bahwa kelak semua saudara Yusuf akan tunduk dan bersujud kepadanya dengan penghormatan yang besar, semata demi mengagungkan dan memuliakannya, bukan untuk mengkultuskan atau sebagai bentuk ibadah. Nabi Ya’qub berpesan kepada Yusuf untuk tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya yang lain, karena khawatir akan menimbulkan rasa iri dan dengki yang mungkin mengakibatkan tipu daya untuk membinasakan ataupun melakukan suatu tindakan yang tidak disukai Nabi Yusuf. Beliau mengingatkan Yusuf bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Beliau juga menyampaikan kepada Yusuf untuk tidak heran jika saudara-saudaranya kelak akan mengganggunya atau bersikap kurang baik padanya, karena dipengaruhi oleh sifat iri dan godaan setan.

Konsep kasih sayang dan cinta seorang ayah pada anaknya diakui para ahli pendidikan sebagai dasar yang sangat penting dalam mendidik anak. Cinta kasih, kelembutan, dan kehangatan yang tulus dianggap sebagai fondasi utama dalam proses pendidikan anak. Semua unsur ini tercermin dalam bentuk komunikasi yang hangat antara seorang ayah dan anaknya, yang sering terwujud dalam dialog kecil. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin 'Amru bin al-'Āṣ menyatakan, "Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil di antara kami dan tidak mengetahui kemuliaan orang tua di antara kami." (Hadis, t.t.)

Hal ini menekankan pentingnya sikap menyayangi anak kecil dan memberikan cinta, kasih sayang, serta perhatian kepada mereka, yang memiliki kedudukan istimewa dalam ajaran Islam. Rasulullah sendiri selalu menunjukkan rasa cintanya terhadap anak dan cucunya. Sikap penuh cinta dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh Nabi Ya’qub kepada anaknya menjadi pesan penting bagi para ayah, sejalan dengan ajaran dalam hadis:

الرَّاحمون يرحَمُهمُ الرحمنُ، ارحموا من في الأرضِ، يرحمْكم مَن في السماءِ

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun