Pernyataan Julijanto yang menyebut kampanye di kampus sebagai bentuk pendidikan politik yang berhasil patut dipertanyakan.Â
Secara normatif, kampanye di kampus melanggar undang-undang yang menetapkan kampus sebagai tempat netral tanpa kegiatan politik praktis.Â
Meski telah ada perubahan aturan, perlu diperhatikan bahwa kampanye di kampus tetap memerlukan izin lembaga pendidikan.
Otoritas intelektual dan otonomi kampus, sebagaimana disebutkan Julijanto, memunculkan pertanyaan tentang kemandirian kampus dalam mengelola aktivitas politik.Â
Apakah kampus benar-benar mampu mempertahankan netralitasnya, ataukah kampanye di kampus dapat menjadi sarana manipulasi politik?
Kritik terhadap kampanye di kampus bukanlah semata-mata mengenai aspek hukum, tetapi juga menyangkut esensi pendidikan politik.Â
Konsep kampanye di kampus seharusnya tidak hanya berkutat pada literasi politik dan pemahaman hak dan kewajiban kewarganegaraan.Â
Melainkan, hal tersebut seharusnya menggali kritisisme mahasiswa terhadap gagasan dan konsep politik yang diusung oleh partai politik.
Pentingnya Kritisisme dan Dialog
Kampanye di kampus dapat menjadi sarana pembelajaran politik yang memberikan literasi politik yang baik kepada masyarakat.Â
Namun, yang lebih penting adalah kemampuan mahasiswa untuk mengkritisi dan mendialogkan gagasan politik yang dihadirkan oleh partai politik.Â
Kampus seharusnya menjadi wadah bagi pertukaran ide dan pemahaman yang mendalam, bukan hanya sebagai panggung untuk menarik simpati.