Mohon tunggu...
Astrid Zulkarnain
Astrid Zulkarnain Mohon Tunggu... -

An ordinary girl with extraordinary thought

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mayat Salira

12 Februari 2010   18:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:57 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kurasakan badanku menghangat, walau malam ini sungguh dingin bagaikan di kutub. Malam ini untuk kesekian kalinya aku sendiri. Kupandangi nanar pemandangan deretan mobil di jalan sudirman. Macet total. Jalan akses segitiga emas Jakarta itu tergenang. Kuhembuskan sisa-sisa nafasku perlahan. Sudah hampir dua jam aku terjebak kedinginan di bus ac yang mengantarku pulang. Aku hampir tak bisa bernafas karena dadaku sakit karena dingin. Kurapatkan jaket green jeans, dan mulai menghitung bulir-bulir air hujan yang mengalir turun di kaca bus. "Gw udah searching di google" ucapnya dengan sangat antusias. Aku menoleh keatas untuk menatapnya yang sedang berdiri. "he?" tanyaku polos Ia langsung duduk disebelahku dan tetap tersenyum lebar. "untuk video tahunan!" Aku masih tetap belum mengerti yang ia maksudkan. Aku menaikkan sebelah alisku. "aduh, sal. Masa lupa? Project kita. Video angkatan buat reuni" "ooo" balasku singkat dengan expresi yang bertolak belakang dengan antusiasmenya. Tak tega menghancurkan semangatnya, kutersenyum. "lalu yang lo dapat?" tanyaku Senyum pria itu semakin mengembang. Dia mulai bercerita semua yang ia dapatkan. Aku tak mengerti sedikitpun kata-katanya. Atau lebih tepatnya tidak peduli. Ada sesuatu yang lebih kupedulikan dibanding video, layar, shooting, handycam, dan semua yang ia ceritakan dihadapanku. Angin freon dingin menerpa wajahku dengan cepat dan berebut. Aku nyaris tak bisa menarik nafas dari serbuan udara dingin itu. Kurasakan badanku semakin panas,walau telapak tanganku sedingin es. Jalan masih menggenang walau hujan sudah mereda setengah jam yang lalu. Bunyi klakson mobil,bus dan motor berebut jalan menggema sepanjang jalan. Hal itu membuatku semakin tak betah duduk di freezer berjalan itu. Waktu magrib telah berlalu,dan aku melewatkannya karena masih di jalan. Betapa berdosanya aku. "ini" ucap tante Eni dengan senyum penuh makna. Ia menyerahkan sebuah foto kepadaku. Di foto itu ada seorang pria dengan senyum sinis dan seorang wanita setengah baya yang tersenyum sumringah. Dengan cepat aku menangkap maksud dari tante Eni memberikan selembar foto itu kepadaku. Aku menghela nafas dan langsung menyingkirkan foto itu dari hadapanku. “kenapa?” tanya tante eni dengan nada kecewa “Aku tidak suka tante. Wajahnya tidak simpatik” Adik ibuku itu tidak berkata apa-apa lagi mengambil foto tersebut dan kembali masuk kedalam kamarnya. Tak lama, Bude Indri keluar dari kamarnya dan menyapaku di ruang keluarga. “Bagaimana Sal? Kamu suka?” “Apa bude?” “Lho? Belum dikasih sama tante Eni to?” Aku langsung mengerti maksud kakak sepupu ibuku itu. Wanita itu memang mendapatkan tempat terhormat di keluarga besarku. Karena dia adalah anak pertama dari anak pertama eyang buyutku. Padahal jika dibandingkan dengan usia ibuku, hanya berbeda beberapa bulan saja. Tapi ia seperti layaknya godmother di keluarga besarku. “Foto maksud bude?” “Sudah lihat?” “Sudah Bude” “bagaimana menurutmu?” “Tidak sreg” “Sombongnya…” desis Bude indri dengan sinis “Memangnya kamu sudah punya calon?” Seperti ditusuk oleh sebuah belati mendengar ucapan tersebut. “Sudah punya?” ucap Bude Indri yang duduk dihadapanku sambil menatap tajam mataku Dengan kaku, kuanggukkan kepalaku pelan. Terlalu pelan untuk sebuah anggukan “Orang apa dia?” Kuterdiam. Tak bisa menjawab “Jawa?” Sekali lagi aku mengangguk berbohong. “Jawa mana?” Bibirku terkunci. Speechless. Tak tahu harus menjawab apa “Kamu tidak tahu?!?” suara bude meninggi. Tante Eni kembali ke ruang keluarga, dan langsung Bude Indri menceritakan introgasi singkatnya kepadaku. Tak sampai dua menit kemudian, semua nasihat tentang masa depan, keturunan baik, pernikahan dan perjodohan tumpah ruah dihadapanku. Aku tak bisa membantah semua wejangan mereka. Dan akupun agak menyesal mengapa aku harus berkorban pagi-pagi datang berkunjung ke rumah warisan almarhum kakekku itu. Udara semakin mendingin. Badanku yang demam semakin memanas. Aku mulai terbatuk-batuk akibat sesak akan udara dingin. Badanku sudah pegal seperti habis dipukul orang di berbagai sudut. Seperti ingin mati saja diriku saat itu. Tapi mengapa hanya wajahnya yang dapat kupikirkan? Sebuah kutipan wall-to-wall dari Facebook miliknya muncul di halaman depan homepage facebookku. Betapa sakit dan mirisnya membaca thread wall-to-wall itu. Di, selamat ya atas pertunangan lo. Jangan lupa, gw diundang ke resepsi lo. Awas ya klo tidak!!’ Tunangan? Dia sudah bertunangan? Jadi selama ini? Suara pengajian Yassin menghiasi rumah itu. Tampak sebuah jenasah sedang berbaring dikelilingi oleh pembaca Yassin. Suasana malam itu semakin agak mencekam, karena suara pengajian disertai oleh beberapa tangis histeris beberapa wanita. Kuberanikan diri untuk masuk kedalam rumah itu. Kulewati barisan pelayat yang sedang duduk. Beberapa dari mereka wajahnya kukenal, tapi mereka bukan saudara atau teman atau tetanggaku. Wajah mereka penuh senyum dan keramahan membuatku tak merasa asing di rumah tersebut. Ketika kumendekati jenasah, betapa kagetnya diriku, yang sedang terbaring kaku itu adalah AKU Sebuah tepukan menganggetkanku. Aku terbangun Zadika Alexander 230309

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun