Mohon tunggu...
Zacky hasan
Zacky hasan Mohon Tunggu... Penulis - kuli tinta

setiap orang mempunyai caranya sendiri untuk menjadi bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Nissa Sabyan Kita Belajar

22 Februari 2021   11:01 Diperbarui: 22 Februari 2021   11:06 2994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari kasus Nisa Sabyan, kita belajar bahwa cinta itu datang tanpa harus memikirkan pada siapa kita harus jatuh cinta. Karena perihal perasaan itu tak berlogika. Jadi, apakah seharusnya kita menyalahkan orang yang jatuh cinta?  

Kita bisa jatuh cinta di mana sajah tanpa harus mengatur ruang dan waktu karena cinta itu ranah perasaan. Sedangkan perasaan tak punya logika.  Meskipun elemen tubuh kita terdapat otak yang bertugas untuk berpikir, tapi tetap sajah tidak bisa.Oleh karena yang bisa memperbudak ialah perasaan. Perasaan bisa memperbudak pikiraan seperti di beberapa kasus.  Seperti orang yang tergila-gila kepada pasangannya tanpa harus memikirkan situasi kondisi ataupun orang yang tanpa memandang kondisi fisik dari pasangannya. 

Pikiran hanya mampu beberapa persen untuk mengendalikan perasaan yang sulit untuk diatur. 

Dari sebab perasaan hingga dikatakan pelakor yang berkonotasi negatif itu, bukankah kita tahu membedakan antara perebut dan hanya sebatas perasaan? Selain itu, bukankah laki-laki diperbolehkan untuk menikahi wanita lebih dari satu, hanya saja kita tidak siap akan hal itu. Banyak zaman dahulu menikahi wanita hingga berpuluh, tapi respon tak seganas sekarang. 

Terlepas dari hal di atas, hal yang menjadi sorotan dari kasus ini ialah hijab yang dikenakan Nisa. Oleh tetapi kita tidak bisa menjelaskan seseorang hanya dengan jilbab yang tak bergerak. Masih banyak orang meniatkan untuk memakai hijab hanya untuk mendapatkan lelaki soleh tetapi dia lupa bahwa Akhlaq dan prilaku juga harus ditanamkan. Kita harus menilai seseorang dengan prilaku yang menjadi cerminan diri sendiri dan jilbab adalah salah satu di antara beberapa penilaian tersebut. Jadi, hijab itu pengupayaan.  

Bukankah kita berpikir seperti koruptor yang pakaiannya terlihat sopan dari jas hingga lengkap dengan dasinya, Orang berseragam coklat (PNS)  tapi prilakunya bejat, mengendarai mobil tapi tak beruang, berpakaian seperti preman tapi berprilaku baik. tidak semudah itu menilai orang dengan penampilannya.   

Menurut penulis, Jilbab ialah upaya muslimah untuk menjadi diri yang lebih baik. Dalam artian, suatu proses dari ketidak sempurnaan menuju kesempurnaan. Jadi, jangan salahkan mereka yang masih berproses.Oleh dari itu, tidak semuanya yang mengenakan hijab itu soleha, tapi untuk mengetahui mana yang soleha itu bisa ditentukan dengan hijab. Karena secara pribadi selain dari perintah agama, hijab ialah bentuk perlindungan diri (wanita)  dari godaan lelaki karena semakin ditutup tubuh mereka, semakin tidak ada yang akan menggodanya. Logika sederhananya, permen yang dibungkus akan sulit untuk ditembus semut.

Hijab bukan sekedar fashion semata, meskipun style hijab yang menjamur, kita tahu bahwa fungsi dari hijab ialah untuk menutupi aurat sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Menutupi apa yang menjadi keindahan dari wanita ialah identitas dari seorang muslimah.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun