Proses disahkannya kehalalan pasangan dari sebelumnya haram, tentunya menjadi momentum sakral. Bagi sebagian orang merupakan hal yang terjadi sekali seumur hidup dan pastinya menjadikan momentum pernikahan sebagai ajang selektif, hati-hati, dan lain sebagainya untuk pengupayaan penghindaran terhadap perceraian. Tak jarang dari mereka masih tertekan terhadap ketakutan. Â Oleh tetapi bagi sebagian orang pernikahan adalah sesuatu hal ringan untuk dilakukan.
Logika sederhana bagi orang yang ringan untuk menikah  dikarenakan ada dorongan dari orang tua mereka supaya terhindar dari maksiat. Hal ini kebanyakan dilakukan oleh orang tua wanita supaya tidak ada beban bagi mereka, dari beban dosa hingga beban ekonomi. Kenapa ekonomi? Tentunya terlepas sudah tanggung jawab orang tua ketika anaknya dimahar.
Alasan lain dari menikah muda ialah karena tidak mau ketika anaknya dewasa sedangkan mereka terlampau tua untuk memberi nahkah atau juga tidak bisa melihat anaknya bahagia di pelaminan. Artinya faktor ekonomi menjadi hal utama, tetapi bagaimana kalau menikah ketika kita siap dari segi ekonomi? atau menunggu lulus PNS di mana gajinya jelas perbulan dan segala hal menjadi tanggung jawab negara.
Dari segala keengganan menikah tentunya tertuju pada alasan ekonomi bagi kalangan tertentu. Maka dari itu tak sedikit dari wanita ataupun lelaki masih menunggu karir mereka. Di sisi lain, Â Perceraian bisa jadi akibat dari segi ekonomi, tapi itu terlalu cepat untuk mengatakan bahwa tidak langgengnya pernikahan dikarenakan ekonomi, bukankah kita dijamin segala sesuatu oleh sang pencipta?
Sejak tahun 2016 hingga 2018 tercatat bahwa ada 1,1 juta perceraian, dikutip dari lokada.id. Ditinjau dari persentase bahwa faktor pertengkaran lebih banyak sekitar  (46,6 persen) dan (28,2 persen) yang dipicu oleh faktor ekonomi. Wait!! Bukankah faktor pertengkaran bisa karenakan ekonomi? Kita bahas lain waktu. Sebab lain juga bisa berasal dari penghasilan istri yang lebih banyak dari pada suami sehingga menimbulkan rasa inferior, menurut psikolog.  Â
Rasa ketakutan untuk menikah bisa juga berangkat dari pengalaman temannya. Misal, teman sang penulis nekat nikah hanya berbekal rasat tulus dan perasaan cinta semata. Mungkin untuk menafkahi setiap hari tercukupi, tapi suatu ketika anaknya melahirkan di situlah tanggung jawab akan diuji. Bagaimana tidak, proses persalinan yang dijalani ialah operasi caesar di mana angka belasan juta harus dikeluarkan. Itu tidak seberapa, yang mungkin dengan meminjam bisa menjadi solusi. Oleh tetapi bagaimana kalau yang dibutuhkan puluhan juta? Sempat melihat berita di sosial media (instagram) bahwa ada anak terlahir tanpa lubang anus. Untuk melakukan operasi, yang dibutuhkan sekitar enam puluh juta, tentunya hal yang lumayan sulit bagi kaum tertentu. Â Â Â Â
Ketakutan juga terjadi dari lingkungan sendiri bahwa ada beberapa orang tua harus menjadi babu di negara lain dikarenakan faktor ekonomi. Sebabnya dikarenakan sulit untuk mencari nafkah di negara sendiri. Mereka rela menjauh dari anaknya sendiri untuk menjadi orang tua sementara (pengasuh anak) dari anak orang lain. Sungguh miris. Anak yang membutuhkan kasih sayang orang tua justru tidak terpenuhi dikarenakan faktor ekonomi semata. Duniawi mungkin tidak bisa dibawa mati, tetapi bukankah hutang yang akan dibawa mati?.
Dari semua masalah tersebut, bukankah mempunyai anak bisa menambah rezeki? Konsep tentang bertambah anak akan bertambah rezeki tidak bisa ditelan mentah-mentah. Rezeki itu bukan tujuan, tapi rezeki akan mengalir sesuai amalan yang kita perbuat. Dalam artian, ikhtiar menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah. Bukankah untuk merokok kita harus menggerakkan badan untuk mendapatkannya? Kata salah satu influencer, “semua membutuhkan DUIT (Do’a, Usaha, Ikhtiar, dan Tawakkal) dan jangan lupa ikhtiar diperkeras". Oleh karena itu do'a, usaha, ikhtiar, dan tawakkal harus tercermin dari diri kita.
Misal jawaban dari ikhtiar, teman si penulis yang bisa melunasi hutang dari operasi caesar anaknya, dia berikhtiar dan pada akhirnya diberikan jalan dengan perantara temannya. Dia mengajar di sekolah international dengan gaji yang memungkinkan atas saran dari temannya tersebut. Oleh sarannya, dia dipercayai untuk menjabat di devisi penting sehingga apa yang menjadi hal berat akan menjadi petunjuk. Dari sebelumnya pengangguran, kini diberikan pekerjaan yang tepat. Artinya, ujian akan memberikan pentunjuk bagi orang yang mampu menjalaninya Wait !!! Bukankah teman baik itu rezeki? Dan bukankah ujian itu rezeki juga? Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H