Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jadwal Pilkada Serentak Dipercepat, Buat Kepentingan Siapa?

22 November 2023   08:54 Diperbarui: 22 November 2023   09:11 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya, jadwal coblosan Pilkada serentak 2024 dimajukan. Dari yang semula akan dilaksanakan pada bulan November, geser ke September 2024. Salah satu alasannya, untuk menghindari kekosongan kepala daerah.

Percepatan pilkada serentak terjadi, setelah Ketua DPR RI Puan Maharani ketuk palu pada Sidang Paripurna hari Selasa 21/11/ 2023. Menarik di perbincangkan, karena soal pilkada dipercepat sempat menjadi isu tak sedap buat Presiden Jokowi.

Sebelum masuk kesana, Sidang Paripurna DPR RI tersebut sebenarnya tak secara khusus membahas tentang pergeseran waktu Pilkada serentak. Agenda utamanya adalah Revisi UU Pilkada.

Nah, salah satu point yang termaktub di UU itu adalah tentang jadwal coblosan. Jika revisi UU Pilkada ibarat renovasi rumah, ya tentu kamar-kamar yang ada didalamnya ikut kena imbas. Minimal harus dibersihkan ulang. Apalagi sampai kena bongkar.

Awal mula muncul isu percepatan pilkada serentak, saya dan mungkin beberapa pihak lain sempat curiga. Motivasinya adalah politik pragmatis. Bukan demi kepentingan mengurangi masa keterbelahan masyarakat misalnya.

Kecurigaan saya tertuju pada penguasa Indonesia saat ini. Yaitu Presiden Jokowi. Mengapa saya curiga demikian rupa, karena terdapat momentum dan fenomena yang sungguh presisi terhadap karir politik keluarga presiden.

Ingat, masa akhir kekuasaan Jokowi sebagai presiden, sesuai jadwal yang sudah di susun oleh KPU, akan berakhir persis saat pasangan kandidat presiden dan wakil presiden terpilih pada pilpres 2024 dilantik tanggal 20 Oktober 2024.

Jika mengacu jadwal semula, itu berarti coblosan pilkada serentak terlaksana satu bulan pasca Jokowi lengser. Di momentum ini, pastinya Jokowi bukan lagi seorang pejabat negara.

Artinya, pasca tanggal tersebut Jokowi sudah tak pegang kakuasaan tertinggi yang punya kekuatan mengendalikan Indonesia secara nasional. Jokowi akan kembali menjadi masyarakat biasa. Sehingga sulit kasih pengaruh terhadap kondisi politik.

Pada situasi lain, terdapat anak dan mantu Jokowi yang di gadang-gadang akan ikut pilkada serentak 2024. Kaesang Pangarep Si Bungsu ada yang memploting maju di Depok. Sementara Mantunya Bobby Nasution bakal tarung di pilgub Sumatra Utara.

Baik Kaesang maupun Bobby, pasti butuh menang. Jika sampai kalah, nama besar Jokowi jadi taruhan. Kan tak enak jadinya. Macam AHY di pilkada DKI. Hingga sekarang, masih saja di ungkit-ungkit tiap kali anak mantan presiden SBY ini hendak ikut kontestasi.

Andai benar nanti bisa ikut pilkada serentak 2024, pergeseran jadwal coblosan dari November ke September 2024 akan menguntungkan anak dan mantu Jokowi secara politis. Terutama dari segi akses dan persepsi.

Secara kasat mata, tak mungkin lah Jokowi menggunakan instrumen kekuasaan buat cawe-cawe mengupayakan kemenangan untuk Kaesang dan Bobby. Mengapa, karena itu dilarang oleh regulasi.

Entah terhadap komponen yang memiliki jaringan secara non formal. Yang hingga kini tetap tersambung dari pusat hingga ke daerah. Pastinya, terhadap kelompok ini Jokowi tak terikat oleh aturan negara.

Misal para relawan yang setia. Ketika Jokowi masih berkuasa, gerakan relawan dalam membela dan mengupayakan kemenangan bagi Kaesang dan Bobby saya jamin lancar jaya. Lalu bagaimana dengan komponen yang tergolong instrument kekuasaan seperti TNI Polri..?

Wah, tak tahulah saya. Yang jelas, karena posisinya kelompok ini sangat leluasa keluar masuk wilayah dan tempat manapun. Apalagi, kita tak mungkin membuntuti sepak terjang mereka hingga 24 jam penuh.

Kita lihat saja nanti. Kalau benar TNI dan Polri terindikasi kuat menjadi alat kekuasaan secara politis, wajib kita suarakan ramai-ramai. Agar tidak menjadi kebiasaan. Lebih jauh, menghambat kembalinya model pemerintahan jaman orde baru.

Kembali ke soal revisi UU Pilkada serentak yang kemudian berimbas terhadap pergeseran hari coblosan. Nampaknya, untuk sementara ini kecurigaan saya di atas tak terbukti. Syukur kalau hingga endingnya nanti tetap begitu.

Mengapa tak terbukti, karena ketok palu tanda setuju oleh Ketua DPR RI Puan Maharani sebagaimana gambaran diatas, mendapat dukungan mayoritas fraksi. Kecuali PKS yang sejak awal memang menyatakan penolakan.

Fakta saat ini, partai-partai anggota koalisi pemerintah yang dulu solid bersama Jokowi macam PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PPP dan PAN sudah kocar-kacir. Akibat beda dukungan kandidat pilpres.

Terlebih, pasca Gibran anak Jokowi jadi cawapres Prabowo yang di usung oleh Gerindra, Golkar, PAN dan beberapa partai kecil, retak hubungan mereka dengan Jokowi makin terlihat jelas.

Saya perkirakan, fraksi-fraksi yang ada di parlemen dan partainya punya pasangan capres cawapres berbeda seperti PDIP dan PPP yang memajukan Ganjar-Mahfud, serta PKB dan Nasdem yang menjagokan Anies-Muhaimin, tak akan se solid dulu.

Bisa saja suara mereka pecah. Yang mengakibatkan kekuatan presiden di parlemen berkurang drastis. Dan endingnya, ketika Jokowi punya kepentingan politis akan ditolak mentah-mentah.

Tapi dalam soal revisi UU Pilkada ternyata tidak begitu. Bahkan partai Nasdem, yang beberapa waktu lalu sempat menyatakan penolakan, ikut pula dalam barisan kelompok setuju yang di ketok oleh Ketua DPR RI Puan Maharani tersebut.

Hal itu menunjukkan bahwa, menggeser jadwal coblosan pilkada ternyata adalah kepentingan bersama. Baik eksekutif yang di komandani oleh Jokowi, maupun legislatif yang terdiri dari beberapa fraksi dari parpol.

Khusus parpol, apa kepentingan mereka memajukan jadwal selain agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan di daerah.? Pendapat saya mungkin untuk kelestarian dan stabilitas keterpilihan para incumbent yang dimiliki masing-masing parpol.

Maklum kan, saat ini terdapat beberapa kepala daerah yang terpaksa mengakhiri masa jabatan jauh sebelum gelaran pilkada. Padahal sebelum ada aturan baru, SK-nya habis pasca pilkada.

Tidak menjadi kepala daerah, bisa diartikan bukan lagi seorang “selebritis”. Yang kenana-mana senantiasa di kerubuti banyak orang. Bukan lagi selebritis, sama halnya menurunkan pamor secara perlahan-lahan.

Akibatnya, tingkat keterkenalan atau poplaritas para kepala daerah yang lengser itu juga menurun. Kalau diterus-teruskan, lama-lama berimbas terhadap tingkat keterpilihan atau elektabilitas.

Mengapa, ya karena orang sudah pada lupa. Saking lamanya tidak muncul ke publik. Betul bisa diupayakan lewat cara endorsmen pribadi. Tapi kan mahal. Darimana uangnya., apa harus jual warisan orang tua..?.

Dulu saat menjabat, soal biaya muncul ke publik bukan halangan. Karena ada fasilitas negara. Saat lengser, ya tidak mungkin lagi. Maka mempercepat gelaran pilkada, bisa sedikit menolong tingkat keterkenalan dan keterpilihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun