Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Menelisik Sepinya Minat Jadi Caleg DPD Dibanding DPR RI

11 November 2023   08:55 Diperbarui: 12 November 2023   07:07 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, karena soal kewenangan di legislasi. Terdapat beda otoritas antara DPD dibanding DPR. Ketika bicara soal proses keluarnya UU yang didahului usulan, pembahasan dan endingnya penetapan, peran DPD sangat terbatas.

Lembaga yang juga disebut sebagai wakil daerah itu hanya bertugas sebagai pengusul dan pemberi pertimbangan. Sementara yang mengesahkan alias menyetujui, ya para anggota DPR.

Disitu nampak jelas, bahwa DPD cuma bisa bicara, namun tak kuasa memberi keputusan. Artinya, DPD mesti diam, manakala usulan yang disampaikan ditolak DPR. Sebagian maupun seluruhnya.

Kedua, anggota DPD dikesankan jauh dari rakyat. Ini bisa terjadi, karena aturan yang tertera dalam regulasi memang berpotensi membuka peluang munculnya kesan semacam itu. Artinya, bukan kesalahan anggota DPD.

Sebagaimana sudah dipahami, ketentuan menyebut kalau anggota DPR itu adalah wakil rakyat. Sebaliknya, anggota DPD merupakan wakil provinsi. Ironisnya, yang memilih anggota DPD ternyata rakyat juga. Bukan pemerintah provinsi.

Ketika sudah dilantik masuk gedung Senayan, lumrah terjadi anggota DPR selalu berhubungan dengan rakyat yang kemarin bertindak sebagai pemilih. Misal saat menyerap aspirasi, sosialisasi program dsb. Sementara intensitas hubungan DPD tak sebanyak yang di lakukan oleh anggota DPR.

Rakyat di bawah yang memberi suara, tak mau tahu soal dampak regulasi tersebut. Yang ada di pikiran mereka cuma satu. Ketika anggota DPD mendapat suara, maka ketika itu pula tidak boleh lupa terhadap pemberi suara.

Nah, intensitas hubungan DPD yang lebih banyak terjadi dengan pemerintah provinsi dibanding rakyat itulah, yang kemudian membuat anggota DPD “malu” ketemu rakyat saat nyalon kembali.

Ketiga, oleh sebab akses pada kekuasaan yang tidak terlalu besar. Karena wewenang yang belum menjangkau hingga pada level sebagai penentu keputusan, maka tingkat kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap DPD menjadi kecil.

Akibatnya, “kue” yang didapat anggota DPD juga relatif kecil. Dengan kata lain, tidak sebanyak yang diperoleh anggota DPR. Kondisi demikian jelas berpengaruh terhadap upaya “ngopeni” rakyat.

Lha bagaimana tidak. Yang didapat cuma separuh, sementara rakyat yang butuh uluran tangan anggota DPD justru lebih besar dibanding anggota DPR. Rakyat yang harus diurus DPD adalah satu provinsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun