Strategi adalah upaya menuju tercapainya cita-cita atau keinginan yang disusun secara terencana dan mengarah kepada sebuah sasaran tertentu. Secara praktik, strategi berbentuk program kerja.
Didunia politik, strategi disusun dalam rangka merebut suara pemilih sebanyak-banyaknya. Untuk pada akhirnya sukses mencapai keinginan utama, yaitu menang pertarungan politik.
Menghadapi pilpres 2024, poros yang sudah siap membahas tentang strategi pemenangan adalah pertemanan antara Nasdem-PKB. Dan mungkin juga nanti ketambahan PKS.
Kalau Poros Gerindra-Golkar-PAN saya kira belum waktunya. Sebab tak ada kesepakatan paten tentang pasangan kandidat. Mau paket Prabowo-Airlangga, Prabowo-Erick atau yang lain, masih dalam pembahasan.
Sama juga dengan poros PDIP. Meski tak terikat oleh presidential threshold karena sudah cukup syarat, tetap saja soal strategi mesti di nomor duakan. Jangan kesusu bicara strategi.
Mengapa, karena kandidat yang akan jadi pendamping Ganjar Pranowo jadi cawapres masih dalam pencarian. Ibu Megawati sebagai pemegang otoritas mungkin masih menimbang-nimbang.
Itulah kemudian mengapa dalam pembahasan tentang strategi pemilu 2024, bicara soal cawapres menjadi penting. Ada kaitan yang saling mempengaruhi antara keduanya yang sulit dipisahkan.
Terlebih kalau ingin kandidat cawapres dari kalangan NU. Wah, ini malah krusial. Apalagi dikaitkan dengan upaya memenangkan pilpres. Salah pilih strategi, justru akan jadi “senjata makan tuan”.
Jumlah warga NU di Indonesia diperkitrakan sebesar 90-an juta orang. Ini pastilah merupakan modal elektoral yang sangat besar. Dan tentu saja menjadi incaran empuk para politisi dan partai politik.
Sayangnya, distribusi pilihan politik warga NU tidak terkonsentrasi kepada satu parpol. Berdasar hasil survei terbaru, terbanyak pertama mengarah ke PDIP, lalu Gerindra dan ketiga baru ke PKB.