Awalnya ada tweet dari akun @dennyindrayana tentang keputusan sistem pemilu oleh MK. Saya kutip isi lengkap tweet tersebut demikian : “Pagi ini mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting”.
Akun itu milik Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana. Tak pelak Denny yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM era SBY, jadi sorotan. Yang lagi panas, Menkopolhukam Mahfudz MD minta polisi mengusut cuitan Denny. Dalam penglihatan saya, sikap Mahfudz dilatar belakangi oleh persoalan hukum.
Artinya, tweet Denny bermasalah dari dua sudut pandang berikut ini. Pertama, kalau isinya benar MK ketok palu kembali menggunakan sistem pemilu tertutup, maka Denny di duga kuat telah membocorkan rahasia negara. Karena kata Pak Mahfudz, putusan MK yang belum dibacakan didepan sidang tidak boleh disampaikan keluar, sebab masuk kategori rahasia negara yang amat ketat.
Kedua, tapi jika sebaliknya, dalam arti sidang MK ambil keputusan tetap memakai sistem pemilu terbuka, maka Denny dianggap telah menyebarkan berita bohong atau hoax. Kalau benar demikian, ya wajar lah yang bersangkutan harus menerima resiko diperiksa oleh polisi. Untuk kemudian nantinya bertanggung jawab di depan pengadilan.
Apalagi kemudian, mengiringi pernyataan Pak Mahfudz MD diatas, memang ada yang melaporkan Denny ke Bareskrim atau Badan Reserse Kriminal Polri soal tweet putusan MK itu. Nama pelapor berinisial AWW. Laporan telah di register. Nomornya : LP/B/128/V/2023/SPKT/BARESKRIM POLRI, tertanggal 31 Mei 2023. Jadi, hampir pasti Denny akan di panggil oleh Polisi.
Nampaknya Denny Indrayana tak gentar. Sebagaimana keterangan tertulis yang juga di kutip oleh KOMPAS.com hari ini 5 Juni 2023, pasca dilaporkan Denny ambil sikap akan mengikuti semua proses hukum yang dijalankan oleh Polri. Tapi ada embel-embel atau syarat. Yaitu proses hukum tersebut tidak disalahgunakan buat membungkam hak asasi kebebasan bicara dan berpendapat.
Nampaknya, Denny khawatir persoalan tweet dijadikan sebagai instrument oleh penguasa, guna melakukan kriminalisasi terhadap pihak yang kritis terhadap pemerintah. Kalau ini benar, Denny akan melakukan perlawanan. Saya juga setuju. Sebab tindakan meniadakan kritik dengan jalan kriminalisasi merupakan perbuatan dholim, anti demokrasi dan represif.
Namun benarkan hingga sejauh itu..? Saya kira kok tidak ya. Mengapa, karena apa yang disampaikan Denny lewat tweet memang memuat nuansa adanya “kesimpulan” dari sebuah peristiwa. Kelihatan amat jika Denny tak sedang melakukan perkiraan. Atau berpendapat yang didasarkan pada fakta yang sudah keluar menggema di permukaan dan diketahui banyak orang.
Darimana itu semua diketahui..? Nampak dari kalimat “Pagi ini mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup..”. Disini, ada dua penekanan yang patut ditelisik lebih jauh. Yaitu “asal informasi” dan “keputusan MK untuk kembali menggunakan sistem pemilu tertutup”. Dua kalimat itulah yang saya katakan di depan tadi bermasalah.
Jika merasa benar, maka mau tak mau Denny harus mengantongi nama atau pihak yang telah memberi info kepada dirinya. Siapakah gerangan itu..? Dan ini sifatnya wajib. Mesti disampaikan oleh Denny saat menghadap Polisi atau nanti jika masuk sidang pengadilan. Sebab kalau tidak, Denny akan dianggap berhalusinasi. Atau bisa jadi menerima kabar lewat mimpi saat sedang tidur.