Kita tahu, Nasdem telah keluarkan keputusan untuk capreskan Anies Baswedan. Sementara sebelumnya, Gerindra sudah lebih dulu mengusung Prabowo Subianto ikut kontestasi para pilpres 2024 juga sebagai capres. Ini menggugah saya untuk otak atik kekuatan jika keduanya betul-betul jadi bertarung. Siapakah yang lebih berpeluang untuk menang..?
Namun sebagai pedoman, perlu dipahami bahwa apa yang saya sampaikan ini hitung-hitungan sementara ya. Sebatas merespon munculnya dua kandidat dari Gerindra dan Nasdem. Karena figur dari parpol lain masih belum diresmikan secara pasti. Meskipun nama-nama para kandidatnya sudah bisa ditebak. Selain itu, perkembangan koalisi juga belum final.
Periode tahun 2017 hingga 2019, Prabowo dan Anies ada dalam satu kelompok. Mereka berdua adalah teman. Tahun 2017, Anies ikut pilkada DKI Jakarta di usung oleh partai “milik” Prabowo bersama PKS. Sementara saat Prabowo nyapres pada 2019, Anies merupakan pendukungnya. Bahkan ketika itu, Anies sempat mengatakan kalau Prabowo ikut tarung di pilpres, maka Anies tak akan ikut jadi capres.
Dalam konteks tersebut, Prabowo dan Anies memiliki ceruk suara yang sama. Jika keduanya jadi bertarung nanti, maka akan terjadi pecah kongsi. Kebersamaan mereka selama ini akan terputus tak bisa dilanjut. Visi, misi dan tujuan juga pastinya akan bertolak belakang, guna saling mengalahkan dalam pertarungan politik.
Selama ini, meski Prabowo dan Anies sempat kerjasama, namun kesan yang terpatri dari keduanya relatif berbeda. Terlebih setelah Prabowo ikut masuk jadi anggota kabinet Presiden Jokowi. Prabowo digolongkan ada di kelompok politik kebangsaan. Sementara Anies Baswedan di posisi sebelahnya. Yaitu politik identitas. Kesan ini muncul akibat berbagai fakta dan proses yang terjadi pada pilkada 2017.
Meski sempat ikut arus saat pilpres 2019 dengan cara menghimpun suara dari pendukung Anies saat pilkada, namun diyakini itu bukan kondisi Prabowo yang sebenarnya. Menilik sejarah latar belakang keluarga dan platform partai Gerindra, mantan Danjen Kopasus ini tak mungkin ada di golongan yang sama dengan Anies. Fenomena merapatnya kelompok identitas ke Prabowo saat pilpres, semata hanya untuk menjaring vox pop publik.
Jika pada pilpres 2024 hanya ada dua pasang calon yakni Prabowo lawan Anies, maka ada kemungkinan situasi pertarungan mirip pilkada DKI Jakarta tahun 2017 akan terulang kembali. Namun meski demikian, semoga saja tidak terlalu parah hingga merembet ke masalah syariat dan akidah. Agar tak sampai merobek nilai-nilai kesatuan di negara kita.
Tapi kalau benar akan terjadi situasi pertarungan mirip pilkada DKI, kemungkinan besar Prabowo akan menang. Sebab dalam kalkulasi umum dinegara kita yang bernama Nusantara ini, jumlah habibat kelompok kebangsaan lebih besar dibanding golongan politik identitas. Perkiraan saya, sumbangan terbesar suara kemenangan Prabowo berasal dari wilayah Indonesia Timur. Meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Maluku dan Papua.
Sekedar dipahami, kelompok politik Identitas di Indonesia sangat lekat dengan islam. Tapi bukan berarti semua umat muslim Indonesia adalah pendukung politik identitas. Yang saya maksud adalah, dibanding penganut lain, yang sering menggunakan agama sebagai alat politik adalah kaum muslimin. Mungkin karena mayoritas. Andai komposisi pemeluk agama seperti India, mungkin yang sering menggunakan agama sebagai alat politik adalah para pemeluk agama Hindu.
Kembali pada soal kemenangan Prabowo. Alasan utama mengapa Prabowo bisa memperoleh suara lebih banyak dibanding Anies adalah, karena pilkada beda dengan pilpres. Pilkada punya cakupan regional. Sementara pilpres nasional. Perbandingan cakupan demikian tentu saja berpengaruh terhadap tingkat keberagaman kelompok yang eksis didalamnya.