Istilah bibit bebet bobot adalah filosofi masyarakat Jawa dalam menentukan jodoh. Tiga kata itu merupakan kriteria ideal mencari suami atau istri. Juga sebagai pengingat. Bahwa menentukan pasangan hidup tidak semata didasarkan pada cinta dan rupa.Â
Namun latar belakang keluarga, kondisi ekonomi dan jenis pekerjaan harus lebih diperhatikan. Maksudnya, agar hubungan keluarga langgeng terjalin selamanya. Bahagia hidupnya dan kelak berpisah hanya oleh maut.
Bibit, menggambarkan latar belakang keluarga. Meliputi status social, dari mana dan bagaimana asal-muasal, kualitas garis keturunan serta nama baik.Â
Bebet, berkaitan dengan materi atau hitungan secara ekonomi. Berapa banyak kuantitas harta benda yang dimiliki calon. Dari keluarga kaya, berkecukupan atau biasa-biasa saja.Â
Lalu bobot, merupakan hal terakhir yang harus dipertimbangkan. Ini berkaitan dengan penilaian diri pribadi calon pasangan. Meliputi soal pendidikan, profesi dan pekerjaan sedang digeluti calon pasangan. Sudah mapan atau masih merintis. Atau jangan-jangan malah jadi "pengusaha", alias pengangguran tak punya usaha.
Hingga kini, filosofi tersebut tetap kuat mengakar dikalangan masyarakat suku Jawa. Mungkin juga suku-suku lain di Indonesia, namun dengan istilah berbeda.Â
Dulu, ketiga kriteria itu cukup ampuh dan efektif mengantar pasangan mencapai cita-cita hidup bahagia. Tapi seiring perkembangan zaman, terjadi perubahan cukup signifikan.Â
Dimasa kini, tidak selamanya yang punya bibit bobot dan bebet kualitas bagus bisa seperti itu. Tak sedikit contoh, ada orang dari latar belakang terpandang dan sangat top, yang kehidupan keluarganya berantakan.Â
Sebabnya, salah pilih pasangan. Keadaan jadi kocar-kacir, justru setelah menikah. Bahkan, dikemudian hari hidup dalam kondisi memprihatinkan.
Sebaliknya, ada banyak orang yang berjodoh dari kalangan keluarga biasa saja, tapi pada akhirnya menjadi orang ternama. Punya "derajat" sangat tinggi, melebihi mereka yang sebelumnya dipandang punya bibit bobot bebet kualitas baik.Â
Oleh karenanya, sudah saatnya sekarang diadakan perubahan mindset tentang definisi filosofi Jawa itu. Dari yang sebelumnya punya pengertian leterlek atau apa adanya, menjadi bersifat maknawi atau potensi.Â
Kalau secara leterlek macam diatas tadi, maka tidak demikian jika diartikan secara maknawi. Definisinya tidak hanya nampak dipermukaan dan bersifat simbolik. Tapi lebih dalam dan bersifat substantive.Â
Jika demikian, maka definisi bibit bobot bebet itu adalah potensi luar biasa yang dimiliki seseorang, hingga dengannya ia mampu mengatasi segala macam tantangan hidup, untuk pada akhirnya dapat meraih puncak kesuksesan. Menurut saya, makna inilah yang lebih cocok dijaman sekarang ini. Dan bisa jadi pula hingga kedepan.
Jika memang demikian, maka pasangan hidup yang menjadi incaran tidak terbatas pada mereka yang punya ayah ibu terpandang, dari golongan keluarga kaya dan punya pekerjaan mapan.Â
Hanya ada salah satu dari ketiganya, atau bahkan mungkin tidak ada sama sekalipun, jika jodoh incaran menunjukkan ada potensi kuat untuk kelak bisa membawa pasangan menjadi keluarga terpandang, hidup berkecukupan secara ekonomi dan punya profesi mentereng, cukuplah dijadikan alasan untuk dipilih. Contoh kongkrit dan tak terbantahkan dalam hal ini adalah Presiden kita saat ini. Bapak Ir. Haji Joko Widodo.
Siapa yang tak kenal beliau. Latar belakang keluarga Jokowi hanya berasal dari orang kebanyakan. Bukan orang terpandang, apalagi ningrat atau bahkan borjuis. Ya seperti kita-kita inilah. Bapak ibu beliau bukan orang kaya.Â
Bagaimana tidak, Jokowi kecil dan keluarga pernah hidup dirumah kontrakan dibantaran sungai. Punya pengalaman digusur, hingga harus mencari kontrakan lain agar ada tempat tinggal.Â
Untuk biaya hidup, orang tua Jokowi bekerja keras. Bapaknya, dibantu oleh ibu beliau, berdagang kayu dan bumbu di pasar. Bahkan, bapak beliau pernah menjadi sopir bis.Â
Saat baru lulus kuliah dan menikah, Jokowi bekerja di pabrik kertas di daerah Aceh. Tugasnya hanya sebagai penyemai bibit pinus dilahan gundul. Pulang dari Aceh, Pak Jokowi alih profesi menjadi tukang kayu. Ikut Sang Paman bekerja di pabrik mebel.
Anda tahu, jika di ukur dari pengertian bibit bobot bebet secara leterlek, tentu beberapa pekerjaan yang dilakukan Jokowi itu bukanlah sebuah profesi mentereng.Â
Jika dulu saat melamar gadis bernama Iriana, mertua Jokowi saklek pada pengertian leterlek, pasti akan ditolak. Pendamping Pak Jokowi yang sekarang ini bisa jadi bukan Ibu Iriana. Yakin dia adalah orang lain. Entah siapa dia.Â
Berhubung bukan pengertian leterlek itu yang menjadi pertimbangan keluarga Iriana, lamaran Jokowi muda diterima. Perkiraan saya, keluarga Ibu Iriana melihat Jokowi muda punya potensi kuat untuk menjadi orang hebat, besar dan ternama.
Saya yakin, keluarga Ibu Iriana bukannya tidak tahu apa itu bibit bobot bebet saat mencarikan jodoh buat anak gadisnya. Cuma, pandangan mereka terhadap makna filosofi Jawa itu sangat luas dan mendalam.Â
Mereka memaknai ketiganya sebagai potensi yang ada pada Jokowi. Bukan pada apa yang terlihat pada penampilan Presiden kita itu. Dan memang betul adanya. Keluarga Ibu Iriana tak salah pilih.Â
Saat ini, sekali lagi meskipun berasal dari keluarga biasa-biasa saja, Jokowi sempurna meraih keberhasilan. Dibidang usaha, beliau sukses menjadi pengusaha terkenal.Â
Sebagai politisi, karir beliau sangat moncer. Berangkat dari bawah secara step by step. Diawali menjadi Wali Kota Solo duakali berturut-turut. Lalu menang pilkada Gubernur DKI Jakarta. Dan sekarang berada di puncak kekuasaan. Seorang Presiden Indonesia. Dua periode pula. Ini sebenarnya layak masuk Guines Book Record. Karena selama ini, belum pernah ada politisi, bahkan Ketua Partai sekalipun, yang punya karir politik mentereng seperti Pak Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H