Artikel Utama Kompasiana tentang rencana pemerintah hapus honorer dan diganti outsourcing, menarik dibahas. Tayang pada 9 Juni 2022, artikel itu memuat pernyataan Bapak Tjahjo Kumolo, bahwa mulai tahun depan Kemenpan RB akan menghapus tenaga honorer dan menggantikannya dengan tenaga outsource. Alasannya, sebagaimana disarikan dari berita KompasTV, Selasa, 7 Juni 2022, rekruitmen tenaga honorer tidak tertata rapi. Menurut Pak Menteri, ketidakjelasan sistem rekrutmen berdampak pada pengupahan yang kerap kali di bawah UMR. Penataan tenaga non-ASN, lanjut Tjahjo, adalah amanat UU. No. 5/2014 tentang ASN yang disepakati bersama DPR RI.
Ditegaskan juga, penataan tenaga non-ASN dan penghapusan honorer adalah untuk membangun SDM yang lebih profesional dan sejahtera. Serta memperjelas aturan dalam rekrutmen. Harapannya, pengangkatan tenaga non-ASN nanti sesuai dengan kebutuhan instansi. Sepintas, ada tiga alasan pokok rencana dihapusnya tenaga honorer. Pertama, karena system rekruitment yang tidak memiliki regulasi jelas. Kedua, upah relative dibawah UMR. Ketiga, membangun SDM ASN profesional.
Beberapa alasan tersebut cukup masuk akal. Mengingat, rekruitment tenaga honorer yang dilakukan selama ini, memang terkesan sembarangan. Bahkan bisa jadi ada yang asal comot. Tidak bisa dibantah pula, untuk alasan tertentu kesejahteraan honorer yang kuantitas kerjanya hampir sama dengan ASN, kurang diperhatikan. Tak jarang, ada diantara mereka yang nyambi cari kesibukan lain. Agar ada tambahan uang belanja. Akibatnya, arah kegiatan menjadi tidak fokus. Hingga berakibat pada berkurangnya sikap profesionalisme kerja.
Namun demikian, yang lebih urgent untuk dibicarakan soal langkah Kemenpan-RB adalah dampak dari rencana tersebut. Pastinya, tahun depan jumlah pengangguran bisa bertambah. Mengingat, banyak tenaga honorer yang merupakan lulusan sekolah atau perguruan tinggi, tidak memiliki kemampuan menciptakan lapangan kerja sendiri. Yang bisa mereka harapkan hanya "belas kasih" penentu kebijakan, untuk bisa kerja di kantor instansi pemerintah.
Betul memang, jika diberhentikan tenaga mereka bisa disalurkan lewat jalur tes ASN atau PPPK. Tapi sebagaimana diketahui, kuotanya terbatas. Sementara total seluruh lulusan, jumlahnyan sangat banyak. Melebihi kuota ASN dan PPPK. Terlebih, alumni yang di produksi oleh sekolah atau perguruan tinggi, durasinya terjadi tiap tahun. Sementara rekruitmen ASN dan PPPK, hanya ada dalam skala dua tahunan atau bahkan lebih. Sehingga, terjadi overload. Kebutuhan ASN dan PPPK tidak seimbang dibanding banyaknya lulusan. Akibatnya, tidak semua peserta tes bisa diterima masuk kerja di instansi pemerintah.
Melihat fakta tersebut, menata tenaga honorer dengan cara diberhentikan tidak serta merta menyelesaikan masalah. Yang ada, makin tambah masalah. Ini tentu tidak sesuai dengan tujuan pemerintah mengurangi pengangguran. Malah sebaliknya, menghapus tenaga honorer justru menambah pengangguran itu sendiri. Pada sisi lain, harus diakui bahwa hingga saat ini usaha pemerintah membuka peluang kerja bagi anak-anak usia produkstif, belum juga maksimal.
Memang benar, mengutip Kompas.com, 09/05/2022, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2022 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun lalu. Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, pada Februari tahun ini jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta orang, turun dari 8,75 juta orang pada Februari 2021.
Meskipun turun, angka pengangguran pada awal tahun 2022 masih lebih tinggi dibanding sebelum pandemi Covid-19. Pada Februari 2020 jumlah pengangguran hanya 6,93 juta orang dan tingkat pengangguran terbuka/TPT sebesar 4,94 persen. Pada saat bersamaan, jumlah angkatan kerja juga bertambah sebesar 4,2 juta orang, yang tidak semuanya bisa diserap oleh pasar. Belum terjadi penghapusan saja, sudah sebesar itu. Bagaimana nanti jika tenaga honorer sudah dihapus. Pastinya, angka-angka soal pengangguran akan lebih meningkat lagi.
Dihadapkan pada data tersebut, alasan Kemenpan RB tentang upah honorer yang dibawah UMR dan penataan honorer, patut didiskuasikan lebih lanjut. Dalam hal ini, pasti serba sulit. Muncul semacam dilema yang sama-sama kurang menguntungkan. Saat tenaga honorer dihapus pada 2023 nanti, tidak terelakkan jumlah pengangguran akan bertambah. Tetap dibiarkan, gaji mereka kecil. Tidak sesuai aturan pemerintah tentang pengupahan.
Namun, jika pilihan sulit tersebut disodorkan kepada para honorer, saya yakin mereka akan loyal kerja di instansi pemerintah, walau gaji kecil. Lha daripada nganggur tidak ada kesibukan yang bisa mengasilkan uang, lebih baik tetap sebagai honorer. Mereka baru mau berhenti atau rela dipecat, kalau pemerintah dapat memberi kepastian peluang kerja ditempat lain. Lalu, bagaimana dengan usulan rekrut tenaga kerja model outsourcing..? Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan kebijakan ini. Utamanya kalau ditinjau dari sisi efisiensi anggaran dan kewajiban pemerintah terhadap warganya.