pengeroyokan anak SMP inisial R. Laporan dalam bentuk tayangan video berdurasi 17 detik. Digambarkan bahwa, R yang berkaus hitam, dikeroyok sekelompok remaja. Anak SMP tersebut ditinju, ditendang di area terbuka atau lapangan badminton saat langit terang. Korban menerima pukulan dan tendangan di bagian wajah dan kepala. Aksi pengeroyokan juga disaksikan oleh sejumlah warga yang berada di lokasi sekitar.
Kompas TV 16 Mei 2022, melaporkanAtas aksi yang terjadi tepatnya di Jalan Kebon Jeruk, RT 01/12, Kelurahan Cibeureum, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi tersebut, polisi akhirnya mengamankan tiga remaja. "Pelaku pengeroyokan itu ada tiga orang, semuanya sudah dimintai keterangan dan ditangkap". Demikian kata Kasatreskrim Polres Cimahi AKP Rizka Fadila. Selanjutnya Pak Kasat menambahkan bahwa polisi masih mendalami motif di balik aksi brutal itu. "Kita belum bisa memastikan apa motif di balik aksi pengeroyokan tersebut. Tapi dari informasi awal, semuanya masih di bawah umur serta pelaku dan korban saling kenal," ungkapnya. (SINDOnews.com, 17 Mei 2022).
Lepas dari apapun motifnya, kita patut prihatin. Hati menjadi sedih. Tidak terbayangkan, mengapa sampai kejadian sejauh itu. Pikiranpun juga was-was. Jangan-jangan, saat ditimpa masalah, tindakan brutal dianggap satu-satunya pilihan bagi kalangan anak-anak remaja saat ini. Kelihatannya, mereka belum mampu menemukan solusi lain. Ini jelas sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup social budaya kedepan. Memiliki calon penerus generasi bangsa yang suka tindak kekerasan. Dan ini, nampaknya sebuah fenomena yang tak berkesudahan dari tahun ke tahun.
Lihat saja peristiwa klithih yang baru saja terjadi pada bulan april lalu di Jogja. Menimbulkan korban cukup serius. Juga geng motor yang meresahkan dibeberapa wilayah. Tengok pula laporan Tim Litbang MPI, MNC Portal tentang beberapa kasus kriminal yang melibatkan Anak SMP. Mulai dari kasus pencurian hingga yang sangat tabu, yakni prostitusi
Sebagaimana ditayangkan okenews pada 12 Oktober 2021, serangkaian peristiwa kriminal anak remaja itu antara lain : kasus pencurian oleh dua anak SMP di Denpasar pada Januari 2016. Palakunya baru berumur 14 tahun. Juga kasus pembunuhan bocah berumur 6 tahun awal Maret 2020 lalu di Sawah Besar, Jakarta Pusat. Pelakunya adalah seorang remaja berusia 15 tahun. Terus kasus pencabulan oleh Siswa SMP berinisial SAP (15 tahun) kepada seorang siswi SMP berinsial AM (17 tahun).
Lalu kasus pembegalan payudara oleh seorang anak SMP berusia 14 tahun. Terjadi di Jalan Raya Desa antara Kemuning hingga Bendungan Bendo, Sawoo, Ponorogo. Begal payudara dilakukan terhadap dua perempuan berusia 18 dan 15 tahun. Terakhir, dan ini yang sangat menyedihkan, adalah kasus prostitusi di Pontianak, Kalimantan Barat. Disebuah hotel, polisi menemukan 22 orang anak yang merupakan pelajar SMP dan SMA. Saat itu, anak dibawah umur ini sedang siap-siap melakukan "pelayanan".
Itu baru beberapa yang terdeteksi. Tentu masih banyak yang belum terungkap. Ada yang salah dengan mereka..? Jawabannya, pasti. Tentu banyak faktor yang menjadi latar belakang. Tugas para peneliti dibidang keluarga dan pendidikan untuk menemukan hal itu. Namun demikian, yang perlu digaris bawahi adalah, para anak remaja itu telah memiliki pemikiran pendek. Mencari jalan pintas dalam upaya menyelesaikan masalah. Padahal, ada banyak alternatif yang bisa dipilih, selain main keroyok, membunuh terlebih sampai pada prostitusi.
Lepas dari kasus diatas, sebenarnya banyak jalan yang bisa digunakan dalam menyelesaikan satu persoalan. Bukan hanya dengan cara tindak kekerasan. Sehubungan dengan ini, dalam pandangan saya tindak kekerasan menjadi alternative, oleh sebab beberapa faktor. Pertama, alasan terdesak. Kedua, karena tidak tahu. Ketiga lantaran sudah terbiasa. Tanpa bermaksud menjustifikasi terjadinya tindak kriminal, untuk alasan pertama mungkin masih bisa dimaklumi. Tindakan terdesak, adalah keterpaksaan. Dilakukan karena tidak kuasa atau belum sempat mendapat solusi lain. Misal, terpaksa melukai atau membunuh karena membela diri. Namun untuk faktor kedua dan ketiga, ini tidak bisa diabaikan. Butuh penanganan serius semua pihak. Harus segera dicarikan solusi.
Anak remaja melakukan tindak kekerasan karena faktor tidak tahu atau karena kebiasaan, jelas yang harus disalahkan adalah keluarga. Bukan anak itu sendiri. Jangan-jangan, di internal keluarganya memang terbiasa menerima kekerasan. Jangan-jangan, setiap kali anak melakukan penyimpangan, orang tua melakukan pembiaran atau cuek. Tidak diarahkan kejalan yang benar. Jangan-jangan, setiap kali anak bertanya tentang suatu masalah, orang tua menjawab "ah terserah kamu dah". Jangan-jangan ketika anak hendak berbuat sesuatu guna menyalurkan kreatifitas, orang tua selalu melarang. Jangan-jangan, anak memang sering melihat orang tua memilih tindak kekerasaan ketika menghadapi satu persoalan.
Tentu masih banyak lagi perumpamaan jangan-jangan yang bisa ditanyakan kepada orang tua. Kalau diteruskan, rasanya kolom ini tidak muat. Dari saking banyaknya. Namun demikian, akibat itu semua, pikiran anak-anak jadi pendek. Jika ada masalah, Â "hukum rimba" lalu merupakan solusi utama. Tidak ada yang lain. Itu terjadi, akibat beberapa pertanyaan jangan-jangan diatas, menjadi semacam justifikasi bagi anak-anak. Berikutnya, tindakan kriminal lalu dianggap hal biasa. Lumrah dilakukan. Tidak perlu ada rasa bersalah. Kriminal adalah sesuatu yang "enjoy". Tidak lagi terlarang. Sangat memperihatinkan bukan..?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H