Saat diundang pada podcast Deddy Corbuzier, Kamis (12/5/2022), Jaksa Agung Bapak ST Burhanuddin mengaku pernah marah kepada anak buah. Sebabnya, soal pakaian terdakwa waktu sidang. Baju yang dikenakan berubah 180 derajat. Yang laki-laki, mendadak pakai kopiah dan baju koko. Padahal, sebelumnya tidak begitu. Yang perempuan, tiba-tiba menggunakan pakaian penutup aurat. Mengenakan hijab dan busana muslim. Padahal, dulunya biasa-biasa saja. Nampaknya, Pak Burhanuddin tidak suka yang begitu. Karena seolah-olah akan merusak citra agama tertentu. Dia minta agar baju "bersyariat" tersebut diganti rompi tahanan warna orange. Disini, ada dua hal yang bisa dipetik. Pertama dari sisi formalisme agama. Kedua, dari sisi dakwah.
Formalisme agama adalah praktik ajaran agama yang hanya menekankan pada bentuk atau lebel semata. Ukuran sebagai penganut agama yang soleh atau fasik, tidak dilihat dari sikap atau perbuatan. Melainkan dari lambang yang tampak dipermukaan. Yang terlihat, itulah yang dijadikan fakta. Diluar itu, singkirkan. Pendek kata, formalisme agama menjadikan symbol sebagai sumber rujukan ketika hendak menilai seseorang.
Jaman sekarang, fenomena tersebut sering terjadi. Terutama dilingkungan penganut agama islam. Diakui atau tidak, ada sebagian kaum muslim yang lebih konsentrasi memperbaiki atribut yang melekat di luar badan. Dibanding menata hati yang ada didalam badan. Yang muslim pakai gamis, jenggot panjang dan celana cingkrang. Yang muslimat sekujur tubuh tertutup kain, kebanyakan warna hitam. Tak nampak sedikitpun bagian tubuh. Kecuali sedikit untuk mata berbentuk lubang memanjang horizontal, persis diatas hidung.
Apakah simbol-simbol tersebut dilarang untuk dikenakan oleh seorang penganut agama islam..? Ya bukan itu maksudnya. Merujuk pada pernyataan Jaksa Agung diatas, pesan yang ingin disampaikan adalah janganlah simbol-simbol tersebut dikenakan hanya sebagai kedok semata. Yang memiliki tujuan memberi pengaruh atau mengelabui pihak tertentu.
Sinyalemen tersebut nampaknya tidak berlebihan. Simak saja apa yang disampaikan oleh seorang Pakar Hukum Pidana UGM, Muhammad Fatahillah Akbar. Bahwa ada tersangka pelaku pidana yang tiba-tiba mengenakan pakaian Muslim atau yang identik dengan kelompok agama ketika diperiksa polisi atau saat menjalani persidangan. Dalam persidangan, seringkali tersangka pembunuhan atau pemerkosaan tampil menggunakan baju koko lengkap dengan pecinya. Atau koruptor yang tiba-tiba pakai jilbab di persidangan, itu biasa dilakukan dengan tujuan meringankan hukuman (dikutip dari Kumparan.com 10 Desember 2021).
Simak juga apa yang terjadi pada tahun 2016 silam di Solo. Ketika Densus 88 membekuk seorang terdakwa kasus terorisme bernama Saifuddin Al Fahmi alias Udin. Untuk mengelabui petugas, Udin menyamar sebagai perempuan, pakai cadar saat polisi melakukan penangkapan terhadap dirinya. Roki Apris Dianto alias Atok Prabowo, terpidana teroris yang melarikan diri dari rumah tahanan Polda Metro Jaya beberapa tahun lalu juga sama. Roki yang kembali diringkus di Terminal Madiun, Jawa Timur, diduga kuat mengelabui petugas dengan cara menyamar sebagai wanita bercadar (Kompas.com 11 Desember 2012).
Hal-hal seperti itulah yang dimaksud oleh jaksa agung. Bahwa pakaian bernuansa agama itu justru akan merusak citra agama itu sendiri. Oleh karenya, jika ada seorang muslim atau muslimat ingin tampil agamis, mengenakan pakaian "bersyariat", hendaknya jangan lupa untuk terlebih dahulu menata hati. Perbaikilah tingkah laku. Jauhi tindak pidana. Jaga kesopanan. Dan dahulukan akhlak. Kalau tuntutan ini dipenuhi, maka silahkan kenakan pakaian, apapun jenisnya. Termasuk yang jenis "bersyariat". Jadinya akan berimbang. Luar dalam sama-sama berkualitas. Penampilan gagah dan cantik. Sikap dan perbuatan ramah dan apik. Dan seperti inilah yang diinginkan oleh islam.
Namun demikian, pada sisi lain, kita tidak boleh berburuk sangka kepada terdakwa yang saat sidang mengenakan peci, baju koko, hijab dan pakaian muslimah. Mengapa, karena kita tidak akan pernah tahu secara persis, apa yang terbetik dalam pikiran seseorang, kecuali orang itu sendiri. Lebih baik kita husnudzon. Berbaik sangka. Siapa tahu punya tujuan mulia. Yakni ingin memperbaiki diri. Setelah ditangkap, muncul kesadaran dan penyesalan sepenuh hati. Betul-betul hendak meninggalkan masa lalu. Agar kedepan lepas dari berbagai ikatan dengan tindak pidana. Berhubung dalam kondisi mendesak, maka cara yang digunakan akhirnya pilih yang instan. Yakni pakaian "bersyariat".
Anggap saja itu sebagai media dakwah. Yakni sarana kebaikan. Meskipun hanya sekedar menunjukkan formalitas penampilan. Ini sama dengan upaya menyampaikan dakwah dengan materi visual. Menunjukkan symbol-simbol islam melalui pengamatan mata secara langsung. Harapannya, dapat mengembangkan pemahaman yang lebih luas tentang islam. Bahwa selain harus bersikap baik, seorang muslim juga harus berpenampilan baik.
Siapa tahu, besok dapat hidayah. Memperoleh petunjuk menuju ajaran agama yang benar, sebagaimana amanat Quran dan Hadits. Dengan mengenakan pakaian "bersyariat", timbul perasaan terikat. Malu melakukan pelanggaran. Baik kepada sesama manusia. Dan terutama malu kepada Allah. Akhirnya, mau tidak mau, terdorong untuk selalu menjaga sikap dan perbuatan. Disini, formalisma agama dalam bentuk pakaian, mampu melahirkan dampak positif. Berbanding terbalik dengan kasus Saifuddin Al Fahmi dan Roki Apris Dianto alias Atok Prabowo diatas. Untuk konteks mereka berdua, formalisme agama melahirkan tindak pidana. Sesuatu yang dikhawatirkan oleh Jaksa Agung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H