Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lampu Merah, Terobos Saja

10 Mei 2022   12:29 Diperbarui: 10 Mei 2022   12:42 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedang servis kendaraan. Lokasi  persis sebelah lampu merah lalu lintas. Iseng-iseng, sambil nunggu kelar, saya perhatikan beberapa mobil, motor dan kendaraan lain yg melintas. Sesekali saya amati perilaku pengendara. Patuh atau tidak mengikuti aturan lampu merah..

Sebagian besar patuh. Ada satu dua kendaraan yg suka main terobos. Ini mungkin sudah dianggap biasa. Sekedar pelanggaran kecil. Sering dilakukan oleh pengendara yang agak nakal.

Namun yang jadi masalah adalah, sikap pengendara saat melakukan pelanggaran lampu lalu lintas. Nampaknya, biasa saja. Cuek. Seakan-akan tidak merasa bersalah. Bahkan, mungkin ada diantaranya yang bangga. Karena bisa jalan lebih dulu dibanding kendaraan lain. Meskipun lampu sedang merah. Sementara pengendara lain, patuh tunggu lampu hijau nyala.

Merasa cuek, apalagi bangga saat melakukan pelanggaran menunjukkan kondisi mental seseorang. Bahwa ada yang salah pada kondisi kejiwaan dalam dirinya. Penyebabnya macam-macam. Bisa jadi karena faktor lingkungan maupun pendidikan. Yang paling berpengaruh di lingkungan adalah keluarga. Apakah saat masih anak-anak, yang terbiasa melalukan imitasi, sering menemukan perbuatan melanggar, baik dilakukan oleh saudara-saudara atau bahkan orang tua sendiri..? Saat menempuh pendidikan, apakah pelajaran tentang patuh kepada peraturan tidak maksimal diajarkan, hingga belum mampu membentuk mental malu atau takut melakukan pelanggaran..? Dua pertanyaan diatas, menjadi PR bagi para orang tua dan penyelenggara pendidikan.

Ada sebagian anggapan, bahwa melanggar lampu lalu lintas hanya sebuah pelanggaran kecil. Ini adalah pandangan yang keliru. Tentu saja, selain dapat membahayakan bagi diri sendiri dan pengendara lain, yang namanya pelanggaran tetap salah. Kecil maupun besar. Yang paling pokok, kalau dibiarkan terus-menerus tanpa ada koreksi, menjadikan mental seseorang mengalami transformasi. Yakni, naiknya tingkatan persepsi atas sebuah pelanggaran. Dari yang awalnya pelanggaran kecil dianggap biasa, lama-lama beralih pada anggapan bahwa yang besarpun adalah juga biasa-biasa saja. Meskipun ini hanya sebuah analisa, yang benar tidaknya masih memerlukan tambahan beberapa variabel, namun transformasi tersebut tetap merupakan perkembangan yang tidak baik.

Segitukah kondisi mental sebagian pengendara kita, hingga menganggap pelanggaran adalah hal yang biasa? Saatnya mulai sekarang kita berkaca ke dalam.

Mari kita berubah. Mulai dari diri kita sendiri untuk tertib berlalu lintas. Insya Allah ini merupakan pelajaran bagi kita. Dimulai dari yang kecil dulu, yakni patuh pada rambu-rambu. Jika kepatuhan demikian berjalan terus-menerus, lama-lama akan menjadi mindset. Jika masing-masing diri kita sudah punya mindset demikian, lama-lama akan terbentuk komunal yang taat pada peraturan. Kalau sudah jadi komunal, bisa dipastikan ketertiban dan keteraturan dalam segala bidang, akan mudah tercipta dilingkungan yang lebih besar.. Insya Allah.. Amiinn...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun