Ia tidak merasakan cukup atas apa yang diberikan suami. Ia selalu mengeluh jika suami mendapatkan penghasilan kurang terlebih lagi tidak sama sekali. Senantiasa mempermasalahkan kepergian suami yang tidak membawa "tentengan" saat pulang. Menghambat suami dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, serta lain sebagainya. Pada intinya, ada sikap istri yang tidak memliki keimanan dan keyakinan tinggi kepada Allah, dikarenakan pola pergaulan dan interaksi western yang dilaksanakan, sehingga tumpuan utamanya adalah ketakutan, akal lemah, dan kemewahan.
Sikap Ismail Cerminan Pendidikan Hajar yang Mengakar
Sikap Ismail yang terekam di dalam al Qur'an saat bertemu ayahnya menjadi bukti yang sangat kuat, bahwa hal itu dikarenakan didikan yang sangat luar biasa dari orang yang saat itu ada bersamanya, yaitu Ibunda tercinta, Hajar. Apa saja sikap Ismail yang dapat kita pelajari, diantaranya adalah:
Pemberani
Ismail sangat pemberani, ia tahu bahwa ketika ia ditawari akan disembelih ayahnya, ia akan kehilangan nyawanya, ia tidak akan berjumpa lagi pada ibundanya, ia tidak akan menikmati permainan di masanya, dan pastinya ia tahu bahwa disembelih dengan menggunakan benda tajam itu sangat menyakitkan.
Tetapi hal itu tidak membuatnya takut dan mundur, melainkan semakin maju dan dengan tegas ia katakan, "laksanakan saja wahai ayahku apa yang engkau diperintahkan oleh-Nya, mudah-mudahan engkau dapati aku menjadi orang-orang yang sabar" [ash shaffat/37:102]
Didikan inilah yang ditanamkan oleh ibundanya pada Ismai'l, terlebih lagi saat ia berdua berada di padang tandus yang tidak memiliki tumbuhan dan air saat itu. Ia hidup berdua tanpa sosok ayah yang menjaga dan mendaminginya di saat membutuhnyannya.
Sabar
Ia tahu itu perintah rabb-nya, Dzat yang selalu ia sembah dan puja. Apa pun yang menjadi perintah-Nya wajib ditaati dan tidak boleh dimaksiati. Ia tahan dirinya untuk memberontak dan mengelak apa yang ditawari oleh ayahnya. Karena ia tahu, Allah pasti bersama orang-orang yang melakukan ketaatan.
Sopan-santun
Pertemuan dengan ayahnya setelah sepuluh atau tiga belas tahun berjalan. Secara langsung ia tidak dididik oleh ayahnya, karena ayahnya harus berangkat berdakwa ke Palestin. Ketika bertemu, dan berdialog ringan, ayahnya dengan berat hati menyampaikan hasil mimpinya semalam, ia katakan "nak, aku bermimpi semalam bahwa aku menyembelih kamu, bagaimana pendapatmu?". Ismail dengan tegas dan penuh sopan-santun menjawab, padahal ia baru saja bertemu dengan ayahnya  setelah lama berpisah. Ismail menjawab "wahai ayahku, laksanakan saja apa yang diperintahkan kepada mu, mudah-mudahan kau dapati aku termasuk orang-orang yang sabar". Jawaban yang sangat luar biasa dari seorang anak yang ia sudah tahu bahwa disembelih itu akan menyebabkan ruhnya hilang, dan ia meninggal.