“Kamu bodoh! Tolol!”.
“Hei...! maksud apa Kau cakap macam itu.” Keningnya mengernyit, telinganya panas.
Rasanya ingin ku bunuh saja makhluk di depanku ini. Ada pisau peraut pensil di dalam tempat pensilku. Itu cukup untuk memotong nadinya. Tak perlu darah yang bersimpah. Belajar anatomi secara mendalam cukup membuatku tahu bagian mana dari tubuh yang paling mematikan.
“Hei....kenapa sekarang Kau malah diaaaaam.......!!!!!”. ujarnya sambil berkacak pinggang. Tak lama kemudian Dia meludahi mukaku.
“Kau seharusnya takut jika Aku diam”. Aku menarik nafas, biar kuselesaikan urusan ini dengan rapi. Aku terlalu membencinya. Akan sangat mencurigakan jika Dia benar-benar mati setelah beberapa orang melihatku bertengkar dengannya.
“Uppss.... “. Wajahnya membulat. Dia nampak kaget. Kulitnya yang kuning nampak lebih coklat ketika cahaya terhalang lebatnya daun pohon beringin di belakang sekolah.
“Diam....”. aku mendesah tepat di samping telinganya.
“Kenapa Kau tiba-tiba memelukku?”. Kata-katanya masih terbata, terheran musuh besar seumur hidupnya nampak sangat halus memperlakukannya seketika.
“Hiks...hikss....hikss.... ssss....”. Aku mengeluarkan air mataku.
“Kenapa Kau menangis? Tak pernah Kau seperti ini”.
Suasana begitu dingin. Ingin sekali Aku melempar tubuhnya ke batu besar di bawah pohon beringin. Atau memelintir beberapa urat saraf mematikan sesuai apa yang aku pelajari selama enam bulan terakhir. Lagi-lagi aku harus mengingat bahwa aku harus merencanakan ini semua dengan rapi.