“Kenapa kamu menulis kisahku?”
Kamu adalah orang yang saat ini membuat aku nyaman dalam keseharianku. Tawamu lepas, candamu tak bias. Aku suka kamu sebagai orang yang melukis warna pelangi dominan jingga. Senyummu menepis luka kering yang kini telah dipenuhi trombosit. Kamu seperti aku, aku seperti kamu, tapi kenapa kamu menulis kisahku?
Kamu adalah orang yang saat ini membuat aku nyaman dalam keseharianku. Teori-teorimu tentang rasa membuatku sejenak paham bahwa dunia tak benar-benar bulat. Keyboard yang kamu sentuh dalam keseharianmu untuk menulis semua hal yang kamu rasakan membuatku tersadar berbagai hal yang luput dari pandangan. Dari sekitar. Kamu dan imajinasimu terbang melangit hingga menahanku untuk ikut bersamamu. Aku suka kamu, kamu suka aku, tapi kenapa kamu menulis kisahku?
Kamu yang kini hadir dalam dunia yang sama denganku ketika aku dan dia tersekat oleh waktu. Kamu yang hadir di dunia yang sama denganku ketika dia yang membawa sepotong hatimu menyepi di gorong-gorong gelap tak nampak. Sudahkah kamu mengambil hatiku yang mana tinggal sepotong jua?. Aku sedang sedih, kamu juga sedang sedih, apa itu alasanmu menulis kisahku?
Aku yang kini hadir dalam keseharianmu juga masih ragu, takut hatiku yang tinggal sepotong kembali luka, hatimu pun juga. Apa kamu pernah melewati batas hujan di saat daerah dalam jarak yang tak jauh memiliki beda cuaca?. Apa kamu dan aku pernah bersama melihat pelangi dan bunga rumput yang mekar?. Aku lupa, kamu lupa, kita sama-sama sering lupa.
“Mungkin itu, kenapa kamu menulis kisahku.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H