Oleh : Zulkarnaini Masry
DAN inikah akhir hidup Nyak Runi. Setiap pagi sebelum matahari menanjak ke batang langit ia sudah berada di tanah bekas sawahnya. Pakaiannya persis bak orang turun ke sawah di kampung-kampung. Baju panjang, celana hitam, bekas rok dalamdipakai di luar. Tudung memayungi kepalanya yang beruban. Namun sampai di sana, ia tertuduk lesu, kadang tersenyum pilu. Sesekali ia bersorak-sorak mengusir pipit yang hendak memakan buah padi muda. Tak lain batang-batang bak ngom tumbuh subur.Ah! Nyak Runi kini sudah gila.
Sementara pemerintah sedang gencar memburu rakyat yang sakit jiwa. Saban hari, mobil putih, disopiri pria bepakaian putih hilir mudik mengangkut orang-orang yang dinyatakan gila. Tak mau tahu, penyebabnya. Siapa saja yang bertingkah aneh, suka bicara sendiri, senyum-senyum sendiri, kerap tingkah menyakiti orang. Maka gilalah ia.
Suatu ketika, tim pemburu orang gila ini mendengar haba, bahwa di tengah sana perempuan tua dengan gaya petani sudah diserang penyakit no 87. Padahal tidak sama sekali. Nyak Runi hanya ingin ke sawah. Tak lebih, ia tak menyakiti orang palagi mencuri. Bahkan ia sendiri yang telah disakiti pemerintah, ‘dicuri’ sawahnya.Kalau begitu pemerintah yang gila.
Tak tau apa dosa, Nyak Runi dibawa ke rumah sakit jiwa. Di sana ia berkumpul bersama dengan orang macam-ragam peukateun. Ada yang berlagak polisi. Bentar-bentar, “Siap grak, siap dan!.”. Ada yang bergaya teungku haji. Dalam tidurpun masih sempat melafaz,“Allhumma labbaik.”.
Dan Nyak Runi masih dengan baju taninya. Ia tak mau memakai baju biru terusan agar seragam. Walaupun dipaksa, ia tetap memakai rok dalam di luar, dan kain seprai dililitdi kepala. Di rumah sakit saja, Nyak Runi tetap mirip petani. Ya, Nyak Runi adalah petani sejati.Lokannya tiap waktu adalah menggeruk tanah bawah cemara, mundur sambil berjongkok bak orang menanam padi. Para perawat muda geli menyaksikan tingkah Nyak Runi. Mereka tak tahu, di relung hati perempuan tua itu betapa ingin ke sawah sebenarnya. Menanam padi, seperti dulu.
Hingga pada suatu ketika, seorang Psikolog muda, lulusan universitas tak bernama di kota kecil ini terenyuh memandang Nyak Runi. Mulailah ia berbincang dengan Nyak Runi.
“Pubuet neh Mak.”
“Pue hana ka kaloen teungoh ku seumula.” Meninggi “Blang lon hana le, abeh dicok le ureung pungoe.” Tetesan kristal mengaliri kerut pipinya.
Psikolog muda itu getir. Ia tak habis pikir, kenapa Nyak Runi dibawa kemari. Simpulnya sederhana saja. Nyak Runi tidak gila, ia hanya ingin ke sawah sebenarnya. Bukan di bangsal ini tempatnya, tapi di sawah, dengan padi dan pipit.
Maka, psikolog muda yang masih single tadi mengajak Nyak Runike sawah, dengan hamparan padi hijau tegak satu-dua mulai berisi. Kontan saja. Nyak Runi tersenyum bahagia. Derai tawa mengejutkan sekawanan burung kecil puteh uleee. Tapi tak lama, berselang detik, murung menyergap raut. Psikolog muda itu sadar, di hadapan mereka bentangan sawah tak sepetakpun milik Nyak Runi. Kebetulan ia punya beberapa petak sawah di samping jalan Medan-Banda Aceh. Tanpa berat hati diwakafkan pada Nyak Runi seluas satu petak besar. Kini Nyak Runi bisa melanjutkan mimpi yang sempat terputus dilindas oleh roda pembangunan. Ia kembali ke sawah.
“Ternyata pemerintah yang membuat rakyatnya menjadi gila,” ujar Psikolog muda itu lirih.
Penulis adalah alumni MJC
Banda Aceh, 10 Maret 2011
Kunjungi : http://zulkarnainimasry.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H