Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi Untuk Madam Sonia

24 Januari 2011   01:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:15 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sekali lagi.. siapa yang tidak kenal dengan Madam Sonia? Seorang wanita yang nyatanya berusia sekitar empat puluhan, tapi sebenarnya, banyak orang yang mengira ia masih tiga puluhan. Tak nampak kantung mata, tak nampak kerutan, dan tak nampak flek sedikitpun di wajahnya yang sering ceria dan bersinar. Hanya memang, sesekali nampak jerawat kecil menghiasi kulit mukanya yang halus itu.

Tata busananya modis, mungkin saja karena sering melihat perkembangan mode mutakhir di sebuah majalah fashion, kemudian pergi memesan baju ke butik. Dan akhir-akhir ini, entah mengapa, gaya rambutnya pun sering berubah, dan terkadang ia memakai hair colour yang berganti-ganti. Hari Senin bisa sedikit hijau, dan hari Senin berikutnya bisa terdapat sedikit goresan pirang.

Secara materi, Madam Sonia memang kaya. Kata orang, ia memiliki semacam rumah apartemen yang dikontrakkan. Juga memiliki saham di perusahaan-perusahaan ternama. Jadi, cukup bagi Madam Sonia untuk hidup dengan kualitas hidup yang lumayan sejahtera.

Dari sudut yang lain, uhui, hati Madam Sonia juga kaya. Tak ada yang membuat ia begitu bersemangat untuk menjadi guru di sekolah menulis ini, selain kecintaannya yang luar biasa pada dunia tulis menulis. Novelnya yang menceritakan banyak fenomena wanita karir metropolis, sangat digemari pembacanya. Dan dalam kesempatan lain, ia juga pernah menjadi editor lepas untuk beberapa penulis ternama. Jadi, sempurnalah apa yang sudah dimiliki oleh Madam Sonia. Kecuali satu. Apakah itu?

Dengar baik-baik. MADAM SONIA MASIH SENDIRI. Atau dengan kata lain, SHE STILL SINGLE. Entahlah, mengapa bisa demikian. Untuk urusan yang satu ini, Madam Sonia memang sangat-sangat tertutup.

**

Siang itu Madam Sonia dikejutkan oleh sebuah amplop yang tergeletak di mejanya, di kantor The Kribo Writing Institute. Tak tahu siapa yang menaruh amplop itu di sana, dan satu-satunya yang harus dilakukan Madam Sonia hanyalah membuka amplop itu.

Weitts.. Isi amplop itu adalah secarik kertas yang berisi sebuah puisi.

Tak Tahu Mengapa

Sebuah Coretan untuk Madam Sonia

Oleh : Raja

Sebenarnya, ini telah lama beta pendam

Jika Tuhan bisa mengubah semua hal,

Daku ingin belaian tanganmu yang lembut

Daku mau senyummu menghampiriku setiap waktu

Dan sebuah tatapan tulus

Biarlah gerakan bibirmu tak bisa terhenti karena memang kamu cerewet,

Biarlah dahimu berkerut karena mungkin lelah mengaturku,

Tapi aku tak akan kecewa.

Karena memang.. semuanya rata-rata begitu, kan?

AMPLOP DARI SIAPA, YA???

Madam Sonia mengerutkan dahinya. Mengambil nafas panjang dan membenarkan duduknya. Ia ingin raut mukanya nampak biasa saja, meskipun batinnya bersitegang dengan sejuta tanda tanya. Siapa yang mengirim tulisan ini? Dibacanya kembali puisi di kertas itu.

Ah, mungkin saja ini mainan dari si Gaul atau si Kerucut, batin Madam Sonia setengah bersyakwasangka kepada Pak Simon dan Pak Joko. Tapi.. entahlah. Madam Sonia sudah mulai suntuk sejak menemukan amplop tadi, dan kini semakin suntuk manakala isi amplop adalah kertas putih dan sebuah puisi yang di print di komputer. Bukannya undangan rapat atau pengumuman dari Pak Kribo.

**

Sesaat kemudian, Pak Simon datang.

What’s up, honey.” sapa Si Gaul yang kali ini kalungnya sudah berganti bandul dengan motif lingkaran yang ada gambar kuda jingkraknya di tengah.

I’m fine, Simon.” jawab Madam Sonia, yang tiba-tiba ia mempunyai ide untuk menyembunyikan amplop dan tulisan itu di tasnya. Ia ingin tak seorang pun tahu dulu mengenai amplop itu.

Not fine, I feel.” kata Pak Simon.

Fine or not, It’s not your business,” kata Madam Sonia.

Pak Simon mendapati koleganya seperti bertingkah aneh, tidak biasanya.

“Nah, nah. Tidak baik sekali. Gue nanya baik-baik, lo malah make nyemprot. Yaah, gimana sih?” sindir Pak Simon.

“Sori, Simon. I’m sooo sorry. Tiba-tiba, gue menjadi kurang mood. Gue mau suasana tenang. Gue mau ke perpustakaan aja.” jawab Madam Sonia enteng.

Tepat di depan pintu keluar kantor sekolah itu, Pak Joko juga nongol.

“Halo, Sonia.” sapa Pak Joko.

“Halo,” jawab Madam Sonia datar.

“He he he.. kok, begitu, ada apa rupanya denganmu, nona?” Pak Joko merasa aneh dengan sambutan Madam Sonia yang tidak biasanya.

“Aku lagi nggak mood, Om Kerucut. Lagi nggak mau bercanda.” jawab Madam Sonia bergegas pergi. Pak Kribo mendadak datang ke ruangan itu, dan alamaak, Pak Kribo pun tak menemukan raut muka Madam Sonia seperti biasanya. Pak Kribo, Pak Joko dan Pak Simon tak begitu peduli. Suasana hati masing-masing orang memang mungkin berbeda tiap harinya, begitu pikir mereka.

**

Hari berikutnya, ketika Madam Sonia telah terlebih dulu datang di kantor sekolah menulis itu, dan tak pernah meminta untuk mendapatkan pujian karena sangat disiplin seperti orang kantoran beneran, upss.. ia menemukan sebuah amplop lagi di mejanya.

Kali ini Madam Sonia harus melihat ke kiri dan ke kanan dulu sebelum geleng-geleng kepala dan akhirnya membuka amplop itu lagi.

Sebuah puisi lagi.

Masihkah Ada Sebuah Harapan?

Coretan untuk Madam Sonia

Oleh : Raja

Betapa damainya jika berada di pelukanmu

Mungkinkah ini sebuah mimpi saja?

Masihkah ada sebuah harapan?

Berintim denganmu

Aku bagai kelelawar

Dan kamu bagai malam

Tak ada batas

“HHH!!” Madam Sonia menyeringai. Batinnya berkecamuk. Siapa yang iseng memberikan amplop yang berisi puisi-puisi aneh ini? Raja. Siapakah sang raja? Siapa?

Setelah permenungan selama kurang lebih dua hari, Madam Sonia telah mempunyai sebuah strategi untuk mencari tahu siapa pengirim amplop puisi itu. Mungkin ia akan memancing situasi melalui dialog dengan kolega-koleganya. Ini adalah prasangka. Tak ada orang yang masuk ke kantor The Kribo Writing Institute selain dirinya, dan kolega-koleganya.

**

Ketika jam istirahat sekolah tiba.

“Pak Kribo, saya ingin membicarakan sesuatu yang agak penting.” kata Madam Sonia yang melihat Pak Kribo senyum-senyum sendiri di ruangannya.

Sepintas, Pak Kribo nampak terkejut.

“Ah, kok tidak biasanya Madam Sonia mengajak saya berbicara tentang sesuatu yang agak penting begini. Memangnya ada apa?” tanya Pak Kribo yang mulai menggaruk kepalanya. “Sepertinya.. tentang sesuatu yang bersifat pribadi, ya.”

Madam Sonia masih berdiri dan menatap Pak Kribo yang tak kuasa membalas tatapan Madam Sonia.

“Oh, ya. Silakan duduk, Madam.” kata Pak Kribo mempersilakan Madam Sonia untuk duduk di depannya, dan terhalang sebuah meja kerja saja.

“Saya sebenarnya hanya ingin menanyakan sesuatu, Pak Kribo.” kata Madam Sonia.

“Silakan. Ada apa, nona?” sambut Pak Kribo.

“Mm.. apakah Pak Kribo pernah mengenal seorang penulis yang mempunyai nama pena.. ‘Raja’?.” tanya Madam Sonia dengan intonasi serius.

“Raja?” dahi Pak Kribo berkerut. Pak Kribo menggeleng. “Saya tak pernah mendengarnya.”

“Kalau begitu.. terima kasih, Pak Kribo.” kata Madam Sonia sambil ngeloyor pergi dari ruangan Pak Kribo.

**

“Sebentar, Madam.” Pak Kribo tak ingin membiarkan rasa penasaran berkecamuk dalam benaknya. “Sebenarnya.. apakah ada sesuatu yang membuat perasaan Madam mengganjal? Kemarin, saya juga melihat Madam nampak cemberut saja. Dan sekarang.. Madam Sonia malah tidak bisa tersenyum, dan.. menanyakan sesuatu yang aneh. Yaitu tentang penulis dengan nama pena ‘Raja’. Ada apakah gerangan?”

Madam Sonia tak jadi keluar dari ruangan Pak Kribo dengan segera.

“Ada sesuatu yang ingin saya ceritakan, Pak Kribo. Tapi.. tidak sekarang.” jawab Madam Sonia serius.

“Ah, ya jangan begitu, dong. Saya kan manusia yang baik dan bijak, Madam. Dijadikan tempat curhat, juga mau kok.” Pak Kribo mulai cengar-cengir.

“Terima kasih, Pak Kribo.” sahut Madam Sonia masih datar saja.

“Lho.. kok masih main rahasia segala sih. Ada apa dengan penulis dengan nama Raja itu? Apakah Madam Sonia terobsesi dengan penulis itu? Ataukah.. Madam Sonia ingin mendampingi sang Raja? Untuk menjadi permaisuri??” kata Pak Kribo dengan intonasi yang aneh.

“Tidak Pak Kribo. Pak Kribo jangan tambah mengacau. Saya tak ingin menjadi permaisuri siapapun,”

“Kalau begitu.. mm.. mm.. jika jadi selir.. gimana? Mau, kan?”

Madam Sonia berbalik dan matanya melotot ke arah Pak Kribo. Pak Kribo mesam-mesem dan ternyata, senyumannya yang aneh itu tak dibalas Madam Sonia. Terpaksa, Pak Kribo harus diam kalau tidak ingin disemprot oleh anak buahnya yang sedang suntuk itu.

**

Pak Joko dan Pak Simon telah mengendap-ngendap di luar ruangan Pak Kribo. Mungkin saja akan mencegat Madam Sonia. Dan tentu saja ingin mendapatkan sesuatu. Tapi keburu Madam Sonia menyemprot dua koleganya itu.

“Aku ingin keterusterangan dari kalian.” kata Madam Sonia ketus.

“Ada sesuatukah hingga kita harus berterus terang kepadamu, Sonia?” balas Pak Simon. Pak Joko hanya mengangguk-angguk saja.

“Dengar. Dua hari ini.. ada puisi untukku. Kalian yang membuatnya, kan?” tanya Madam Sonia sambil mendelik. Secara bergantian, dipandanginya Pak Joko dan Pak Simon.

“PUISI??” tanya Pak Simon dan Pak Joko berbarengan. Madam Sonia mengangguk pelan. Pak Simon dan Pak Joko geleng-geleng kepala.

“Puisi cinta??” tanya Pak Simon.

“Mirip.” jawab Madam Sonia spontan.

“Ha ha ha. Terus terang nih. Gue tak tahu yang begituan itu.” kata Pak Simon sambil terkekeh.

“Apalagi aku. Kalau aku ingin mengungkapkan perasaanku kepadamu.. aku tak akan memakai puisi.” sela Pak Joko meskipun tidak tertawa. Ia hanya tersenyum saja. “Aku langsung akan terus terang saja, tanpa ba bi bu, dan mengakui sesuatu.”

Madam Sonia melengos dan ngeloyor pergi. Ia masih harus melihat perkembangan kejadian ini dalam beberapa hari.

**

Esok harinya, Madam Sonia kembali menemukan amplop di mejanya. Entah gerutuan apa lagi yang mungkin muncul di mulutnya manakala ia menemukan sebuah kertas dengan sebuah puisi. Lagi-lagi.. memang untuknya.

Sanggupkah Aku Memintamu Untuk Dekat Denganku?

Coretan Untuk Madam Sonia

Oleh : Raja

Aku tak tahu apakah ini memang bisa terjadi

Jika sebuah mimpi bergulung menjadi ombak

Yang menghempas kerinduanku

Akan kehadiranmu, akan senyumanmu

Akan lantunan nyanyianmu yang merdu

Bisakah kusulam waktu

Hinggaternyata dikau bisa lebih dekat denganku

Dari siapapun yang pernah mengenalmu

Dan sanggupkah aku?

Tak tahulah aku

**

Madam Sonia membolak-balik kertas itu dan berpikir bahwa ia belum menanyai Bimo yang kebetulan baru saja masuk ke ruangan itu. Mungkin ada beberapa pekerjaan administrasi yang harus ia kerjakan hari ini.

“Bimo, aku ingin menanyakan sesuatu.” kata Madam Sonia sembari memperlihatkan amplop putih yang setiap hari selalu nongol di meja Madam Sonia kepada Bimo.

“Apa kamu pernah melihat seseorang memberikan amplop seperti ini di mejaku?” tanya Madam Sonia.

Bimo mengamati amplop yang ditunjukkan oleh Madam Sonia.

“Saya tidak tahu, Madam Sonia.” jawab Bimo. “Kalau boleh tahu, isinya apa, Madam?”

“Puisi untukku, Bimo.” jawab Madam Sonia datar.

“Oooh..” Bimo manggut-manggut, tapi tak memberi informasi apapun untuk Madam Sonia.

Madam Sonia merasa sudah menginterogasi semua orang. Kecuali murid-muridnya sendiri. Tapi, mungkinkah puisi ini datang dari muridnya? Adakah sesuatu hal hingga mungkin saja salah satu muridnya mengerjainya? Atau ingin mengkomunikasikan sesuatu dengannya?

Beberapa saat lamanya Madam Sonia memperhatikan kembali tulisan-tulisan puisi di tangannya itu. Mendadak, seseorang masuk ke ruangan itu sembari membawa sapu dan alat untuk mengepel. Siapa lagi kalau bukan tenaga cleaning service, Pak Samin. Ahai! Aku belum menanyakan perihal ini kepada Pak Samin, pikir Madam Sonia.

“Pak Samin, tolong saya, Pak.” kata Madam Sonia memanggil Pak Samin.

“Eh.. iya Madam Sonia. Ada apa? Adakah sesuatu yang harus saya kerjakan?” tanya Pak Samin mendekat ke Madam Sonia dengan badan agak membungkuk seperti layaknya orang yang ingin berusaha sopan kepada atasannya, meskipun memang, Pak Samin hanya ingin menghormati Madam Sonia yang memang pantas untuk dihormati.

“Mm.. Apakah Pak Samin tahu siapa yang menaruh amplop putih seperti ini di meja saya?” tanya Madam Sonia sambil menunjukkan amplop putih di meja Madam Sonia.

“Em.. lho.. yang naruh disitu kan.. saya, Madam.” jawab Pak Samin lugu dan jawaban itu seperti sebuah info yang sangat berharga bagi Madam Sonia. Mata Madam Sonia berbinar.

“Benar itu Pak Samin?” tanya Madam Sonia.

“Ya benar, Madam.” jawab Pak Samin.

“Lantas.. itu amplop dari siapa, Pak Samin?” Madam Sonia tidak sabar.

“Amplop itu dari nak Didi, Madam.” jawab Pak Samin jujur.

“DIDI?? DIDI anak kelas Perias Kata?” tanya Madam Sonia dengan intonasi menaik.

Pak Samin mengangguk.

**

Senja mulai menyapa. Anak-anak The Kribo Writing Insitute sudah pulang. Begitu pula dengan Pak Kribo, Pak Simon, Pak Joko, Bimo dan Pak Samin. Tinggal seseorang saja yang belum pulang. Yakni, Madam Sonia. Dan tentu saja Didi yang harus menghadap Madam Sonia untuk menjelaskan perihal puisi-puisinya. Plus, satpam sekolah menulis itu di gerbang depan.

Mungkin anak tanggung yang sisiran rambutnya rapi dan selalu berdandan rapi itu sudah menduga jika puisinya yang ia titipkan ke meja Madam Sonia melalui Pak Samin itu bakalan membuat Madam Sonia harus memanggilnya. Setidaknya untuk menjelaskan semuanya.

Suasana senja teramat hening hingga gemerisik daun pohon jambu di luar kantor The Kribo Writing Institute bisa terdengar. Angin berhembus semilir mengiringi matahari yang semakin ogah-ogahan untuk masuk ke ujung bumi bagian barat.

Didi duduk berhadapan dengan Madam Sonia di meja Madam Sonia yang terbuat dari kayu jati berukir. Didi menunduk dan sepertinya, senja itu tidak terdapat wajah ceria dan nakalnya seperti ketika ia bergabung dengan gengnya, Diko dan Dimas.

Madam Sonia memulai bicara.

“Apakah ada sesuatu yang kamu rasakan hingga kamu perlu mengirim puisi-puisi ini untuk Madam, Didi?” tanya Madam Sonia dengan lembut.

Didi menarik nafas sebelum menjawab. Namun, Didi tidak sanggup berkata apapun, rupanya. Ia hanya menganggukkan kepalanya.

“Perasaan apa, Didi? Kamu harus menjelaskannya kepada Madam.” kata Madam Sonia.

“Sayang.” jawab Didi.

Madam Sonia kaget.

“Sayang kepada Madam?” tanya Madam Sonia keheranan.

Didi mengangguk. Madam Sonia menarik nafas panjang, tapi kemudian lantas berpikir panjang. Ia belum menafsirkan jawaban Didi, tapi ia berharap, ini bukanlah rasa sayang seorang lelaki dewasa kepada wanita dewasa. Madam Sonia tidak akan membayangkan bahwa diusianya yang sekitar tiga puluh tujuh tahunan ini, ada seorang laki-laki berusia belasan yang menyatakan cintanya kepadanya. Selain ini nampak aneh, karena mungkin si laki-laki hanya pantas menjadi anak atau keponakannya, ia tidak mau jika orang akan mengatakan bahwa ia adalah seorang wanita yang mencari daun yang bukan hanya muda, namun, baru saja bersemi.

“Mmm.. maukah Didi berterus terang dengan jujur, jika Madam menanyakan semuanya?” tanya Madam Sonia serius.

Didi mengangguk.

“Dan Madam Sonia juga mau menjawab jika kutanya?” Didi balik menodong.

Madam Sonia mengangguk,”It’s oke, Didi.”

**

“Oke kalau begitu. Didi mau menanyakan apa kepada Madam?” tanya Madam Sonia.

Didi mengernyit.

“Mm.. apakah Madam Sonia sudah punya anak?” tanya Didi datar saja. Madam Sonia tersentak dengan pertanyaan Didi. Madam Sonia menggeleng.

“Mengapa Madam Sonia belum mempunyai anak?” tanya Didi lagi.

Madam Sonia sama sekali tidak mengira bahwa ia akan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

“Karena Madam belum punya suami, Didi.” jawab Madam Sonia hati-hati.

Didi memandang Madam Sonia sebelum menanyakan sesuatu kembali.

“Mengapa Madam belum punya suami?” tanya Didi lugas.

Madam Sonia kembali tersentak. Pertanyaan terakhir Didi sangatlah pribadi. Satupun tak ada yang pernah menanyakan hal ini kecuali orang-orang terdekatnya. Dan ia tak akan mau menjawab kecuali juga kepada orang-orang terdekat atau sahabat karib. Kepada maminya pun, Madam Sonia tak akan berterus terang. Bagi Madam Sonia, jawaban dari pertanyaan Didi terakhir itu cukuplah panjang seperti cerita bersambung di koran-koran. Tak ada satu pun kalimat yang sanggup mewakili cerita panjang itu. Perihal cinta pertamanya yang kandas, cinta keduanya yang runtuh, dan apapun juga. Namun, Madam Sonia saat ini tengah harus menjawab pertanyaan Didi itu dengan sebuah kalimat saja supaya Didi tidak kecewa. Supaya anak itu tidak hanya mendapatkan jawaban klise bahwa ini ceritanya panjang, dan pasti ada sesuatu yang disembunyikannya.

“Karena.. Tuhan belum memberikan suami yang tepat untuk Madam. Itu jawabannya, Didi.” jawab Madam Sonia sesaat setelah ia menemukan jawaban yang pas di otaknya.

**

Kini Madam Sonia mempunyai waktu untuk menginterogasi Didi, yang ia kenal lebih jauh ketika tahu bahwa Didi rajin membuat puisi, dan satu-satunya puisi Didi yang pernah diingatnya adalah sebuah puisi yang pernah menyinggung Pak Kribo, karena Pak Kribo naik taksi pakai argo, Pak Kribo menyukai bakso, tampak bego, tapi memang jago.

Madam Sonia tersenyum sebentar.

“Madam tahu Didi jujur mengakui hal ini. Tapi.. mengapa puisi itu Didi kirim kepada Madam?” tanya Madam Sonia.

Didi membenarkan letak duduknya.

“Aku selalu mendapatkan inspirasi jika melihat seseorang yangkukenal, kemudian menuliskannya dalam puisi, dan aku selalu ingin orang itu melihat dan mendengar puisiku, Madam. Apakah aku berdosa jika punya sifat seperti itu, Madam Sonia?” jawab Didi.

“Ah, tidak, Didi. Didi tidak bersalah. Didi tak perlu khawatir.” Madam Sonia menyela dengan spontan.

“Dan anehnya, aku tidak melihat banyak orang mau mendengar dan melihat puisiku Madam. Adikku cuek aja. Maklum, mungkin dia masih kecil. Papiku juga sibuk. Tak pernah ia mendengar dengan serius puisiku, kecuali setelah aku membaca puisiku dan dia hanya bilang.. baguslah itu. Semuanya bagus, katanya. Kemudian tanteku.. ah..tak ada satupun yang mampu menarik perhatiannya kecuali berita gosip artis di tivi.” kata Didi seperti anak remaja yang sedang curhat. Ya memang begitu, kan?

Madam Sonia menghela nafas. Ia maklum jika sifat Didi masih kekanak-kanakan seperti itu. Tapi ia melihat sebuah potensi besar pada Didi. Didi sangat getol berkarya. Dan Didi ingin menampilkannya. Sayang, Didi tak mendapatkan tempat yang maksimal di lingkungan sekitarnya. Memang hanya itu.

Madam Sonia mungkin pernah mendengar cerita perihal orang yang rajin melukis, kemudian tidak mendapatkan kesempatan untuk melukis. Jika orang ini seorang fatalis, dia mungkin akan memotong tangannya sendiri. Percuma punya tangan, tapi tidak ada kesempatan melukis.

Madam Sonia ingin menelisik lebih jauh perihal puisi Didi yang menyangkut dirinya.

“Lantas, mengapa Didi terinspirasi oleh Madam? Apakah Madam punya tempat yang spesial di hati Didi?” tanya Madam Sonia sambil tersenyum manis kepada Didi, berharap ia akan mendapatkan jawaban yang tidak keblinger dari Didi.

“Aku ingin Madam Sonia bisa dekat denganku.” jawab Didi lugas.

“Maksudnya??” tanya Madam Sonia ketar-ketir.

“Aku berharap, Madam Sonia bisa menjadi...” Didi ragu untuk mengutarakan isi hatinya.

“Menjadi apa, Didi??” tanya Madam Sonia dengan tubuh hampir gemetar karena satu-satunya jawaban dari Didi yang paling tidak diharapkannya adalah bahwa Didi menginginkan dirinya menjadi pacarnya atau kekasihnya yang selalu memperhatikannya, dan mau mendengarkan semua puisi yang dibacanya. Kalau itu yang diinginkan Didi, jelas Madam Sonia akan menolak mentah-mentah.

“Menjadi.. menjadi mamiku, Madam.” jawab Didi.

Mendengar jawaban itu, Madam Sonia menarik nafas panjang dan jantungnya kini bisa berdetak kembali dengan normal. “Menjadi mami” adalah lebih layak untuk didengar. Untuk sesaat, Madam Sonia memang mengakui bahwa Didi telah bicara kepadanya melalui puisinya. Dan kini, dengan jawaban atas pertanyaannya. Tetapi.. maksud keinginannya itu..

“Aku pernah bermimpi.. mungkin.. memang hanya ada satu orang di muka bumi ini yang dengan tulus pasti mau mendengarkanku membaca puisi.” kata Didi yang sepertinya sudah puas bisa mengutarakan keinginannya ke Madam Sonia.

“Siapa itu, Didi?”

“Mamiku.”

“Trus.. mengapa Didi hanya bermimpi? Mengapa Didi tidak melakukannya? Bukankah Didi bisa meminta mami Didi untuk duduk manis dan mendengarkan Didi membaca puisi?”

“Aku tidak bisa melakukannya.”

“Lho, memangnya kenapa?”

“Karena.. mamiku sudah meninggal ketika aku masih kecil.”

UUPPSS.. Madam Sonia tersentak kaget bukan kepalang, dan ia melihat mata Didi berkaca-kaca. Ia sama sekali tidak tahu perihal ibu Didi yang sudah meninggal, dan ia mengetahuinya dengan suasana yang sedemikian mengharukan. Kembali dipandanginya Didi yang mulai mengeluarkan satu bulir kecil air mata.

Jadi, Madam Sonia sudah bisa mengambil kesimpulan. Didi terobsesi dengannya karena Didi menginginkan dirinya menjadi sosok ibu yang telah lama tidak dijumpainya, yang menurut bayangan Didi, akan bisa menjadi orang yang paling memperhatikannya, dan mengasihinya. Sudah lama Didi tidak mendapatkan kasih sayang seperti kasih sayang seorang ibu yang meski kadang cerewet, tapi mungkin saja, bisa menjadi manusia yang akan mendengar puisi-puisinya, dan melihat karya-karyanya.

Madam Sonia berdiri, kemudian menghampiri Didi, mengambil sebuah kursidan berusaha duduk di samping anak itu.

“Madam Sonia minta maaf. Madam Sonia tak tahu kalau mami Didi sudah meninggal. Sekarang.. anggap saja Madam Sonia menjadi mami barumu. Madam Sonia tidak keberatan, kok dianggap seperti itu. Toh, Madam Sonia juga gurumu. Sama artinya dengan orang tuamu juga. Bahkan, Madam Sonia siap membantu Didi jika Didi punya kesulitan.” kata Madam Sonia sedikit terbata, meskipun sebenarnya ia bahagia, karena ditengah kesepian yang membalutnya karena tak ada suami yang mendampinginya, masih ada seseorang yang ternyata menganggapnya cukup berarti dan menganggapnya sangat dibutuhkan.

“Madam Sonia begitu baik, bahkan kepada siapapun juga.” kata Didi sambil tersenyum.

“Bukankah itu memang yang seharusnya dilakukan oleh semua orang, Didi?” kata Madam Sonia yang memang sangat mampu menyikapi sesuatu dengan bijak. Sejauh ini.

“Melihat kenyataan itu, sepertinya.. Tuhan terkadang tidak adil.” kata Didi tiba-tiba.

“Mengapa kamu punya pendapat seperti itu, Didi?” tanya Madam Sonia keheranan.

“Untuk orang yang sebaik Madam, mengapa Tuhan tidak segera mengirimkan suami untuk Madam?” kata Didi dengan nada tanya.

Mendengar ungkapan Didi, Madam Sonia menarik nafas panjang.

“Sebenarnya, itu urusan Madam yang sangat pribadi sekali, Didi. Dan mungkin saja, Madam tidak akan menceritakannya kepada Didi.” jawab Madam Sonia spontan.

“Tapi.. tidakkah lebih baik berpikir mengenai sesuatu yang lebih nyata, Madam?”

“Maksud Didi?”

Madam Sonia membenarkan letak duduknya. Ia tidak berharap Didi mengatakan bahwa sesuatu yang lebih nyata itu adalah bahwa semua orang membutuhkan pendamping hidup. Suami, atau isteri.

“Maksud Didi.. bukankah lebih baik jika Madam tidak hanya kuanggap sebagai mami baruku saja?”

Madam Sonia kembali spot jantung. Lantas mulai memelototi Didi, berharap ada ungkapan yang bisa menghentikan spot jantungnya.

“Lantas?” tanya Madam Sonia deg-degan.

“Yaa.. Didi berharap Madam Sonia menjadi mamiku beneran.”

“Maksud Didi.. Madam Sonia menikah dengan papi Didi???”

“Yap!” Didi mengangguk.

Madam Sonia melempar pandangan dan tanpa disadari menggaruk kepalanya. Perasaan Madam Sonia campur aduk mendengar ungkapan lugu anak tanggung itu. Antara aneh, sedih, konyol dan sedikit kesal.

“Kata Om Didi, papi Didi hanya akan bisa mendapatkan janda.. atau wanita yang sudah agak terlambat menikahnya, yang belum mempunyai suami.” lanjut Didi.

Madam Sonia nampak pusing mendengarkan ungkapan Didi.

“Kata Om Didi juga, papi seharusnya segera kawin lagi agar lebih tenang hidupnya.” lanjut Didi.

“Kata Om Didi, tak ada salahnya kalau Didi ikut mencarikan isteri papi dan mami baru Didi. Apalagi, yang sudah Didi kenal. Papi pasti langsung setuju.” tambah Didi.

Madam Sonia menghela nafas panjang, dan menyetop Didi yang ingin nerocos lagi.

“Sudah Didi. Madam Sonia paham dengan maksudmu. Hanya saja.. Madam belum mau menuruti keinginan itu Didi. Didi mengerti dengan maksud Madam, kan??”

Didi terpaksa menganggukkan kepalanya dengan agak kecewa. Dan matahari benar-benar telah bersembunyi di ufuk barat ketika Madam Sonia dan Didi pulang dari sekolah itu bersama-sama.[ ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun