Hanyalah mimpi. Jika ternyata esok hari hatimu runtuh. Oleh jejak rayuku. Oleh tapak buai kata-kataku.
**
Hmm.. kubayangkan pagi ini kamu datang dari balik tembok ruang kuliah. Dengan bibir merekah bagai rekahan batu besar yang menabrak batang jembatan kali Code. Yang oleh derasnya lahar dingin kamu berguling-guling, kemudian mengambil tempat disisi yang membuat dirimu tak bergerak lagi.
Jagalah hatiku, sayang. Tak sanggupkah aku melunakkan hatimu yang sekeras baja itu. Apakah aku harus membawanya ke tanur tinggi dengan suhu ribuan derajat dulu agar semuanya meleleh???
Tak tahukah kamu jika hatiku seperti tali penambat keledai. Ia ingin bertambat di lehermu yang jenjang itu. Ia ingin menambatkan diri. Menarikmu. Meliukkanmu. Dan biarlah ujung talinya kupegang. Jadi kamu seperti yoyo. Aku ingin melihat gaya sentripetalnya, momentumnya, sentrifugalnya.
Hhhhhhhh..
**
Andai aku punya sayap. Andai aku ini burung raksasa yang perkasa. Akan kuajak dirimu terbang mengitari langit Jogja. Kan kutunjukkan bahwa aku sanggup membawamu kemana saja. Memanjakanmu. Mengasihimu. Menyayangimu. Membelaimu. Melemparkanmu ke galaksi, dan menangkapmu kembali. Melontarkanmu dengan meriam, sementara di ujung sana aku kan menangkapmu.
Tapi hatimu tak runtuh sama sekali. Tapi kamu tak bisa kujangkau. Seperti emas di ujung monas yang tak bisa kuambil dan kujual semauku. Meruntuhkanmu sulit, karena aku tak bisa. Karena kunci hatimu hilang. Dan tukang kunci tak bisa menggandakannya. [ ]
Salam Kompasiana,
Mr. President
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H