Kalender adalah lembaran-lembaran kertas yang sering dipasang di dinding-dinding rumah, yang berisi angka-angka yang berderet, dan nama-nama hari seperti Senin, Selasa, Rabu, dan seterusnya. Angka-angka yang berjajar dan berderet itu mempunyai warna yang berbeda-beda. Ada hitam, merah, dan mungkin hijau atau biru.
Konon, setiap orang punya pengalaman masing-masing dengan kalender mereka. Para aparat negara tentu tersenyum lebar jika melihat angka 1 setiap bulannya, pun juga mungkin para pejabat dan mungkin wakil rakyat, sebab, di angka itulah sang dompet aparat bisa menjadi tebal, atau rupiah di rekening aparat bisa bertambah.
Berbeda sekali dengan Paijo si tukang becak yang mangkal di ujung gang. Tanggal 1 atau tanggal 2 atau tanggal 15 sekalipun, tak pernah ada bedanya dan tak pernah ada senyuman ketika tanggal demi tanggal di kalender berlalu setiap harinya. Paijo bisa tersenyum sedikit ketika Mak Ijah, atau Mbok Sumi rela menggunakan jasa tenaganya untuk mengangkuti dagangan sayuran ke pasar inpres, sebab disitulah dia menganggap bahwa hari itu dia masih bisa makan, alias dia masih bisa meniti angka-angka di kalender dindingnya.
**
Para wakil rakyat memang memerlukan kalender, karena kalender adalah eksistensi mereka. Kalender itu dicetak dengan biaya amat mahal, karena ada foto-foto hebat mereka yang nampang di kalender itu. Para wakil rakyat akan jeli melihat kalender mereka dengan tatapan penuh antusias. Bahwa pada hari ini ada rapat komisi, bahwa tanggal itu ada sidang pleno, dan bahwa semua itu ada uang komisi, uang rapat, dan uang-uang lain yang akan didapat dengan mungkin hanya tidur saja di kursi yang empuk, dengan ruangan dingin ber-AC, atau di ruang rapat yang bermilyar biaya pembangunannya.
Tentu berbeda sekali dengan Paimin yang bekerja sebagai kuli lepas di pasar induk. Dia hanya bisa memandangi kalendernya dengan tatapan mata kosong, sebab hari-harinya dipikul dengan punggung dan bahunya yang semakin lama semakin renta, penghasilan yang pas-pasan, dan bahkan untuk makan di angkring atau warteg saja dia harus ngutang. Angka-angka di kalender bisa menjadi mimpi buruk bagi Paimin karena jika ia sakit, ia tak bisa bekerja dan untuk berobat ke rumah sakit milikpemerintah, ia harus mencari kartu miskin atau kartu tidak mampu ke kelurahan.
**
Para wakil rakyat mulai melingkari angka-angka di kalendernya. Bahwa bulatan-bulatan itu berarti adalah masa reses bagi mereka, dan di masa reses itu mereka akan jalan-jalan ke daerah untuk ‘konon katanya’ menyerap aspirasi rakyat di daerah. Tak lupa bahwa masa liburan itu juga ada uangnya, juga ada honornya, juga mendapatkan dana yang besar, yang tentu saja ini adalah masa liburan yang amat menyenangkan.
Lain sekali yang dialami Paijem, si tukang buruh cuci harian yang pilu melihat kalender lusuh di dinding gubuknya. Sudah seminggu ini dia tidak bekerja karena sakit. Harusnya, awal minggu ini ia mendapatkan uang untuk si Upik anaknya, untuk membeli buku tulis dan peralatan sekolah ala kadarnya. Tapi mungkin keinginan Upik untuk mempunyai pensil baru harus tertunda karena tak ada uang dari ibunya.
**
Sayang sekali, aku bukanlah desainer kalender wakil rakyat. Jika aku mendapat pesanan untuk mendesain kalender wakil rakyat, maka kalender itu tidak akan aku pasangi foto-foto mereka. Justru kalender wakil rakyat harus berisi foto-foto rakyat. Kalender wakil rakyat harus berisi foto-foto orang miskin, foto-foto pengemis, pengamen jalanan, foto sekolah ambruk, foto jembatan ambruk, dan foto-foto antrian sembako atau foto lain yang benar-benar harus membuat mata mereka terbuka.
Tak lupa, jika aku menjadi desainer kalender wakil rakyat, maka tiap-tiap lembar kalender itu, akan aku tulisi dengan salah satu bunyi sila Pancasila, dengan huruf besar, bold dan bila perlu berwarna merah. Bunyi sila itu adalah,”Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia..” [ ]
Salam Kompasiana,
Mr. President
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H