Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buruh Migran dan Jeritan Anak Negeri

21 Juni 2011   00:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:19 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_117825" align="alignright" width="300" caption="---from google---"][/caption]

Mengapa banyak dari anak negeri mengais rejeki ke negeri orang? Jawabannya tentu karena mereka tidak dapat hidup layak di negeri sendiri. Mengapa mereka tidak dapat hidup layak di negeri sendiri? Jawabannya tentu karena pemerintah tidak bisa menjamin kesejahteraan mereka. Pemerintah tidak bisa menyediakan lapangan kerja yang baik dan mencukupi.

Rata-rata dari mereka yang bekerja di negeri orang adalah mereka yang tidak mempunyai ijasah yang bisa diandalkan. Mengapa begitu? Karena mereka tidak mampu sekolah. Mengapa begitu? Karena biaya sekolah mahal. Mengapa mahal? Karena tidak ada uang untuk membayar biaya sekolah. Mengapa begitu? Karena pendapatan tak tentu. Mengapa begitu? Karena tak ada pekerjaan.

Pertanyaan dan jawaban ini saling terkait, dan selalu membentuk lingkaran setan.

**

Sebuah ironi. Sebuah tragedi. Anak negeri harus bekerja di negeri orang dengan modal judi. Jika bertemu majikan yang baik, maka semuanya beres. Tapi jika kebetulan bertemu majikan jahat, maka pancung telah menanti. Seterika akan bicara. Didorong dan meluncur dari lantai atas gedung majikan. Dianiaya dan diperkosa. Gaji tidak dibayar sekian bulan, bahkan sekian tahun. Dikurung di kamar gelap. Dibunuh dan dibuang ke tempat sampah. Oh.. Alangkah ngerinya.

Setelah semuanya terjadi, barulah ribut-ribut. Pemerintah mengelak dari tanggung jawab dan saling menuding. Para sponsor pemberangkatan TKI yang salah. Duta besar yang tidak becus. Perusahaan penyalur TKI yang suka memanipulasi. Pokoknya, selalu ada jurang antara apa yang diucapkan dan dilakukan. Semua hanya ingin selamat dari tanggung jawab, bahkan kalau perlu mengail di air keruh. Untung masih banyak orang yang berusaha peduli. Jika tidak, dunia memang sudah kiamat.

**

Mari mencoba untuk membuat sebuah analisis yang lain. Mari mencoba untuk membayangkan bahwa negeri ini adalah sebuah keluarga besar. Ada ayah dan ibu, dan mungkin 10 anak, kakek dan nenek, serta cucu-cucu yang lucu. Karena masing-masing individu merasa bahwa mereka bagian dari keluarga besar, maka masing-masing individu juga saling menjaga keberlangsungan kehidupan mereka.

Jika di dalam gudang masih tersedia satu karung beras, pastilah mereka juga akan berusaha agar sisa beras itu cukup untuk memenuhi keperluan makan keluarga besar ini. Tidak ada sama sekali keinginan dari salah satu anggota keluarga untuk menguasai satu karung beras itu. Apalagi mencurinya hingga dia merasa aman duluan terhadap rasa lapar. Mereka tentu akan berbagi dan saling berbagi.

Bagi keluarga besar ini, satu karung beras harus menjamin keberlangsungan hidup agar anak-anak atau cucu-cucu tidak makan di rumah tetangga atau bahkan mengemis atau meminta-minta. ”Kita harus mencukupkan satu karung beras ini untuk kita semua..” kata sang kakek. Dan semuanya bersedia untuk hidup bersama.

**

Nah sekarang, bandingkan dengan kondisi negeri kita. Satu karung beras itu ternyata tidak cukup untuk menjamin hidup keluarga besar ini. Mengapa begitu?

Pertama, karena sang kakek tidak sanggup membagi dengan baik satu karung beras itu kepada anak dan cucunya. Di satu sisi, seorang anak amat dimanja. Dia mendapatkan banyak sekali beras. Fasilitas yang mewah. Gaji yang teramat tinggi. Renumerasi dan sertifikasi. Tapi dilain pihak, ada anak yang sangat malang. Dia tak mampu hidup karena hanya mendapatkan satu sendok kecil beras saja. Itu tidak cukup buat makan. Apalagi untuk mengganjal perut.

Bagi anak yang malang itu, satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah dengan pergi ke rumah tetangga. Untuk bekerja dan menambah bulir beras.

Jika saja pemerintah sanggup membagi rata kesejahteraan di negeri ini, tentu tak begitu banyak anak-anak negeri menjerit dan harus keluar rumah untuk bekerja di negeri orang.

**

Kedua, telah banyak anak negeri yang tidak lagi peduli dengan saudaranya. Mereka bahkan telah mencuri beras dari sisa beras yang hanya tinggal sekarung itu. Mereka bahkan dengan terang-terangan mencuri beras itu dan kemudian lari ke negeri orang. Bukan untuk bekerja, tapi untuk sembunyi dan menyelamatkan diri agar tidak ketahuan.

Karena beras itu banyak dicuri, maka sisa beras tinggal sedikit. Tak ada lagi yang bisa diharapkan. Karena semua anak ternyata ingin meniru saudaranya, maka sebagian besar tetap ingin mencuri. Setelah itu, mereka lari keluar negeri untuk menyelamatkan diri. Toh sang kakek dan sang ayah tak mungkin mengejar mereka. Kaki ayah dan kakek sudah lemah dan rapuh.. [ ]

Salam Kompasiana,

Mr. President

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun