Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Andai Aku Presiden RI Episode 45 –”Catur”

14 Januari 2010   01:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:28 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

”Mr. President. Anda hebat sekali. Anda baru saja memenangkan pertandingan catur dengan grand master paling hebat di negeri ini. Apa sih resepnya?” tanya seorang wartawan kepadaku dengan tergopoh-gopoh.

”Haha.. ya karena sejak kecil saya sering main catur dan selalu mengikuti kompetisi catur tingkat kampung yang digelar di ujung kampung tempat masa kecil saya tinggal.. itu saja resepnya..” jawabku santai.

”Waduh.. asyik donk Mr. President. Bagaimana kisah masa kecil Anda dengan permainan catur ala kampung itu? Tolong donk diceritakan..” desak wartawan lagi.

”Hahaha.. okelah kalau sampean memaksa. Ceritanya sudah saya buat, dan saya upload di internet. Coba buka saja ya.. di we we we.. kisah main catur presiden di waktu kecil dot net. Tinggal di download saja. Oke?? Saya pergi dulu ya..” aku nyelonong pergi. Kalau nuruti pertanyaan wartawan.. tak ada habis-habisnya.

Esoknya, tulisanku itu sudah masuk di rubrik ”Kolom dari Mr. President”, di sebuah koran nasional. Mau tahu? Nich.. ada.

**

Main catur, memang asyik. Apalagi, di ujung perempatan di kampungku itu, ada sebuah warung kecil, dan di depan warung terdapat sebuah kursi panjang dan bangku panjang, tempat orang-orang di kampungku ngumpul dan bermain catur. Yang tidak bermain, tentu saja hanya menonton dan sambil berteriak-teriak kecil.

Ada juga yang memperhatikan jalannya pertandingan sambil merokok, atau nyeruput kopi panas. Yang tak kalah seru, bila ada orang yang taruhan segala. Ini yang membuat seru. Tapi, tentu saja ini menjadi hal yang kurang enak. Taruhan kan termasuk main judi? Dan itu dilarang oleh Rhoma Irama.

Tempat main catur di depan warung kecil itu, adalah ajang kompetisi catur tertinggi di kampungku. Artinya, jangan coba-coba turun main di situ, kecuali kamu sudah profesional dan kemampuan main caturmu sudah matang. Minimal, untuk ukuran di kampungku.

Nah karena aku masih kecil, terpaksa aku merengek minta papan catur kepada ayahku, dan kemudian aku mengajak teman-temanku untuk main catur di rumah.

Cita-cita kami semua, jika kemampuan main caturku dan teman-temanku sudah matang, maka kami siap untuk turun gunung dan menantang siapapun juga yang nongkrong di depan warung kecil ujung perempatan kampungku itu.

Aku suka ikut nongkrong di depan warung untuk melihat orang main catur. Ada beberapa orang di kampungku yang kukenal sangat jago. Pertama, namanya Pak Mongin. Orangnya sudah paruh baya, perutnya gendut, dan rambutnya tipis saja. Mendekati botak. Mungkin karena saking jagonya main catur, hingga otaknya panas karena banyak memikirkan strategi menang catur.

Nah karena otaknya panas, maka rambutnya juga rontok satu demi satu. Jadilah tipis rambutnya.

Kedua, namanya Pak Cebleh.Orangnya masih muda, rambutnya berombak, dan terlihat ganteng. Pak Cebleh juga jagoan main catur, tapi lebih jago lagi kalau taruhan. Sehingga, ada semacam pemeo, jika Pak Cebleh main catur, maka harus ada taruhan.

Minimal, dia sendiri yang akan taruhan. Pak Cebleh memang pemberani. Jago taruhan.

**

Kata orang, catur memang bagian dari olah raga. Tapi, menurutku itu sebenarnya kurang tepat. Menurutku, catur adalah teknik membunuh waktu. Soalnya, jika aku main catur dengan teman-temanku, maka setengah hari pun akan kuhabiskan untuk memelototi bidak-bidak catur tanpa terasa.

Kadang aku geli jika mengingat perihal catur ini. Sebab, ada istilah-istilah yang agak aneh mengenai penamaan para bidak. Ada yang lazim secara nasional, ada yang tidak.

Yang lazim, misal penamaan untuk bidak raja. Namanya juga raja. Kalau bahasa jawanya, rojo. Di kampungku, juga sama. Namanya raja atau rojo.

Berikutnya, bidak menteri. Di kampungku, bidak ini lazim disebut dengan ‘ster’. Bukan ‘star’. Mungkin, maksudnya adalah bidak menteri ini mempunyai kekuatan hebat, bisa jalan lurus atau miring, jalannya juga tak dibatasi, sehingga mirip bintang atau ‘star’. Tapi, bilang ‘star’ memang tidak asik. Jadinya ya harus bilang ‘ster’.

Selanjutnya, bidak gajah. Di kampungku, bidak ini lazim disebut dengan ‘pluncur’. Ada juga yang menyebut ‘cuncum’. Maklum, langkahnya memang tidak bisa lurus. Hanya miring saja mirip dengan ‘meluncur’.

Kemudian, bidak kuda. Di kampungku, bidak ini lazim disebut dengan ‘jaran’. Itu bahasa jawa untuk kuda.

Selanjutnya, bidak benteng. Nah, ini di kampungku disebut dengan bom. Maklumlah, bentuknya seperti bom.

Yang terakhir adalah bidak pion. Nah, dikampungku, bidak ini biasa disebut dengan ‘krucuk’, atau ‘prajurit’. Maklumlah, jika permainan catur sudah dimulai, dan itu dinyatakan sebagai ‘perang sudah dimulai’, maka ‘krucuk’ ini selalu paling depan sendiri (ya karena letaknya di depan), sehingga pasti bakalan mati duluan.

Itulah nasib ‘krucuk’. Makanya, jika kamu masih menjadi pejabat ‘krucuk’, jangan macem-macem. Posisimu ada di strata paling bawah. Kamu harus menuruti perintah menteri atau pejabat tinggi diatasmu. Jangan melawan wahai ‘krucuk’! Bisa-bisa kamu dipecat dan dituduh tidak loyal! Nah!!

**

Jika ada ancaman untuk raja, maka itu dinamakan SKAK. Orang yang main catur di kampungku, dan dia berhasil mengancam raja, maka ia akan berteriak,”SKAK!”. Dan lawan akan berpikir untuk mengamankan raja. Ditutupi atau dipindah.

Anehnya, jika ancaman tidak hanya untuk raja, tapi untuk benteng juga, maka pemain di kampungku akan berteriak,”SKAK! SBOM!”.

Kalau gajah diancam juga, maka si pemain akan berteriak,”SKAK! SBOM! SPLUNCUR!”

Begitulah karakter para pemain catur tingkat kampung. Histeris, emosional, overacting dan overconfident. Jika Anatoly Karpov tahu tentang kompetisi catur di kampungku itu, mungkin ia akan menyarankan,”Daripada berteriak Skak, Sbom, Spluncur, Spion, Skuda, mending teriak saja ‘SMUA!!’. Beres, kan?”

**

Kembali ke warung kecil di ujung perempatan jalan di kampungku, di masa kecilku. Tidak ada pertandingan catur yang paling mendebarkan selain pemainnya adalah salah satu dari maestro catur di kampungku itu, Pak Mongin atau Pak Cebleh.

Jika dua orang itu bertanding, maka keadaannya tidak hanya mendebarkan saja, tetapi sangat riuh, sangat tegang, sangat mencekam, dan bagi penonton yang taruhan, sangat rawan untuk merontokkan jantung mereka.

Soalnya, kedua-duanya punya strategi bermain yang ampuh dan mempunyai talenta permainan tingkat tinggi. Ya miriplah dengan pertandingan antara Anatoly Karpov dan Gery Kasparov. Mirip sekali. Bedanya, kalau pertandingan antara dua maestro catur dunia itu didukung dengan suasana hening, tenang, tidak ada gangguan, dan mereka berdua mampu berkonsentrasi penuh, sedangkan pertandingan antara Pak Cebleh dan Pak Mongin ini, sebaliknya.

Pertandingan diantara mereka memang membuat mereka tegang, tetapi sungguh.. bagi yang nonton, siapapun boleh usul mengenai langkah bidak terbaik yang harus mereka lakukan. Ada yang usul dengan berteriak lagi.

“Ayo! Bomnya maju tiga langkah, dong.” teriak penonton yang membela Pak Mongin.

“Ayo! Pluncurnya dipindah di dekat ster, dong.” teriak penonton yang membela Pak Cebleh.

“Di-SKAK saja!”

“Alaah, gampang. Tutup saja pakai bom.”

“Makan kuda itu!”

“Sikat pluncurnya!”

“Krucuknya maju!”

Singkat kata, banyak sekali teriakan.

**

Dan sekali permainan antara Pak Cebleh dan Pak Mongin digelar, pasti bakalan tak terhitung lagi teriakan yang keluar dari mulut para penonton yang hanya duduk dan berdiri mengitari dua kampiun catur kampungku itu, yang kedua-duanya sedang mendidih otaknya karena sebenarnya konsentrasi mereka sedang berada di puncak, tapi teriakan-teriakan penonton tak bisa mereka redam.

Karenanya, Pak Mongin dan Pak Cebleh menganggap catur sebagai ajang untuk mengadu gengsi dan mengadu uang. Intinya, mereka selalu taruhan. Meskipun masih tergolong main judi, taruhan uang memang masih bermartabat. Daripada taruhan isteri, apalagi taruhan anak gadis mereka. Enggak enggak.. guyon kok..hehe..

**

Suatu ketika, dalam salah satu malam minggu yang cerah, dimana warung ujung perempatan kampungku sangat ramai, ada sebuah peristiwa yang tak akan terlupakan dalam hidupku. Waktu itu, aku juga berada di sana meskipun aku memang masih kecil.

Tapi, karena aku juga sangat maniak main catur, aku tak akan melewatkan pertandingan-demi pertandingan bermutu yang digelar di sana.

Dan aduhai sekali suasana malam itu. Puluhan orang sudah berkumpul untuk melihat partai hidup mati antara Pak Cebleh dan Pak Mongin. Banyak yang taruhan. Tapi sayang, mungkin pada malam itu Pak Cebleh dan Pak Mongin sedang tidak mood untuk taruhan uang. Mereka bertaruh dengan sesuatu yang agak aneh dan menjijikkan.

“Aku bosan bertaruh uang denganmu,” teriak Pak Cebleh.

“Oke, aku mau bertaruh apa saja.” jawab Pak Mongin.

“Aku mau taruhan yang lain.” teriak Pak Cebleh.

“Oke, siapa takut?” jawab Pak Mongin.

Suasana mulai bergemuruh. Para penonton sudah tidak sabar ingin mengetahui taruhan apa yang akan mereka gelar.

“Begini. Kalau aku menang, kamu harus pulang dengan hanya memakai celana dalam saja.” teriak Pak Cebleh kepada Pak Mongin.

Pak Mongin tersentak juga dengan tantangan Pak Cebleh.

“Oke. Tapi sebaliknya, jika aku yang menang, kamu harus pulang dengan hanya memakai cawatmu yang sudah tiga hari tidak kamu lepas itu!” teriak Pak Mongin tak kalah berani.

**

Woow! Pertandingan dan taruhan yang cukup menarik! Pikir para penonton.

**

Satu langkah pembuka sudah dilakukan oleh Pak Mongin yang kebagian bidak putih. Pak Cebleh tak kalah taktis. Langkah bidak hitamnya juga sangat tajam. Membentuk formasi pertahanan dan penyerangan yang kuat. Para penonton mulai saling ejek, yakni antara pendukung Pak Cebleh dan pendukung Pak Mongin.

“Ayoo! siapa yang telanjang pulang malam ini??? Aku yakin, pasti si Cebleh!” teriak pendukung Pak Mongin.

“Tidak akan! Mongin pasti keok. Dan dia akan pulang dengan hanya memakai celana dalamnya yang bermotif kembang-kembang itu!” teriak pendukung Pak Cebleh.

Suasana sangat riuh. Dan setelah kurang dari satu jam pertandingan, ternyata posisi permainan Pak Cebleh mulai kedodoran. Peruntungannya malam itu seakan mulai memudar. Banyak bidaknya yang mati.

**

“Ayo! Cebleh bakalan keok, nih!” teriak para pendukung Pak Mongin lagi.

Tapi, Pak Cebleh bukan tipe orang yang gampang menyerah. Mungkin saja ia merasa posisinya tak bagus dan bakalan kalah. Namun, Pak Cebleh masih sanggup berkonsentrasi penuh. Meskipun para pendukung Pak Mongin sudah berulah. Iklim pertandingan mulai tidak kondusif.

“Alah Bleh! Kamu pasti keok ini. Ayo siap-siap bugil!” teriak penonton.

Beberapa penonton sudah mulai melucuti baju Pak Cebleh. Baju Pak Cebleh terpaksa harus dilucuti, dan Pak Cebleh rupanya pasrah saja, soalnya konsentrasinya masih tertuju penuh kepada papan catur di depannya. Kondisinya memang kritis. Ia hanya mempunyai tiga bidak. Satu raja, satu pion dan satu pluncur.

Dan gawat! pluncurnya juga mati! Pak Cebleh mengeluarkan bulir keringat dingin. Kaos dalam Pak Cebleh sudah ditarik-tarik oleh penonton yang membela Pak Mongin. Dan kaos dalamnya juga sudah dilucuti. Kini, tinggal sarung dan celana dalam saja.

“Ayo! Bugil! Ayo! Bugil!” teriakan penonton semakin membahana. Karena posisi raja Pak Cebleh juga sudah terjepit, para penonton sudah mulai menarik-narik sarung Pak Cebleh. Celana dalamnya mulai kelihatan.

**

Tapi.. Tiba-tiba.. UPS!!, Pak Mongin keliru langkah. Ia tidak men-Skak Mat. Tapi hanya memindahkan bidak ster saja, dan ternyata sanggup membuat raja dan pion Pak Cebleh tak bisa bergerak.

Pak Cebleh berteriak keras sambil tertawa,”Ha ha ha ha.. REMIS. REMIS!” (Remis adalah draw). Pak Cebleh semakin tertawa histeris manakala dilihatnya Pak Mongin sungguh kecewa karena salah langkahnya itu.

“Ha ha ha.. Remis. Uhuuuii..” teriak Pak Cebleh lagi.

Berangsur-angsur, Pak Cebleh menarik kembali kaos dalam dan bajunya yang sudah dirampas para penonton, serta membetulkan letak sarungnya yang kedodoran setelah ditarik-tarik para penonton, yang sangat menginginkan Pak Cebleh pulang hanya dengan GT Man saja.

[ salam hangat untuk Utut Adianto ]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun