Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Andai Aku Presiden RI Episode 37 – “Hak Bertanya”

5 Januari 2010   08:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:37 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Anda harus mempersiapkan diri, Mr. President. Ini sebuah pertaruhan, dan juga pertarungan. Antara Anda dengan parlemen.” kata Natalia tergopoh-gopoh. ”Anda hanya dibela oleh fraksi partai Anda sendiri.”

”Aku sama sekali tak khawatir..” jawabku enteng.

”Tapi parlemen sudah mengadakan voting. Mereka akan menggunakan haknya. Hak bertanya..” kata Natalia lagi.

”Halah.. tak usah bingung. Lihat saja nanti. Justru ini yang kuinginkan..” kataku spontan.

Bagiku, dalam urusan seperti ini, parlemen adalah mitra kerja. Mengapa musti bingung dengan mitra kerja?

**

Aku akan mempersiapkan diri. Semua data-data yang akurat juga sudah kupersiapkan. Aku ingin membuat semua anggota parlemen mengenal diriku.

”Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Saudara-saudara anggota dewan yang terhormat. Hari ini sangat istimewa bagi saya. Saya bisa bersitaturahmi dan menghadiri acara ini, sekaligus memenuhi permintaan dari Saudara-saudara untuk bertanya.” aku mulai berpidato. ”Saya harapkan acara ini bisa berjalan lama, karena saya akan menjawab semua pertanyaan. Karena Anda telah menggunakan hak bertanya, maka saya wajib menjawab.”

**

Pimpinan sidang mempersilakan perwakilan-perwakilan fraksi untuk bertanya.

Fraksi pertama mulai bertanya.

”Saudara presiden yang terhormat. Saya mendapat berita bahwa Anda disinyalir memperkaya diri dengan memberikan kebijakan-kebijakan kontroversial kepada para konglomerat hitam. Kami ingin mendapatkan jawaban yang memuaskan.” kata juru bicara fraksi pertama.

Aku berdiri dan bersiap menjawab.

”Terima kasih atas pertanyaan itu. Jawaban saya adalah : semua itu tidak benar. Anda keliru kalau menyangka saya memperkaya diri.” kataku sambil memberikan kode agar layar LCD menampilkan sesuatu yang kuperlukan.

”Lihat di layar. Saya akan memberikan data buku tabungan saya sebelum menjadi presiden. Dan setelah itu Anda juga harus tahu berapa posisi uang saya di tabungan saat ini. Nah.. ini rekening saya..” aku menunjukkan gambar buku rekeningku.

”Saya membuka rekening di Tabungan Nasional Sejahtera dari Bank Sejahtera Nasional. Mengapa saya membuka rekening di sini? Karena di bank ini tak ada biaya administrasi bulanan. Jadi, walaupun saldo saya minim, uang saya tetap tak berkurang. Kalau biaya ATM sih ada. Tapi juga tidak seberapa.”

Semua mata memandang ke arah layar.

”Lihat di layar.. saldo uang saya sebesar itu untuk saat ini.. Yakin haqqul yakin, ya itu kekayaan saya. Ya kalau Anda ingin kekayaan saya yang lain.. setelah ini ada slide daftar kekayaan saya yang sudah saya update dan serahkan ke Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara.” kataku meyakinkan. ”Anda mungkin heran. Ya memang begitu adanya. Gaji saya memang sekitar 50 juta perbulan. Tapi.. tiap bulan saya sudah gunakan untuk : 10 juta untuk menyumbang partai. 10 juta untuk menyumbang anak-anak yatim. 10 juta untuk acara makan bersama orang-orang miskin. 10 juta untuk membeli buku-buku bermanfaat dan saya bagikan untuk taman-taman bacaan dan perpustakaan. Nah.. yang 10 juta untuk saya pribadi. Disitu juga sudah saya rinci. 2 juta untuk angsuran rumah. 1 juta angsuran mobil. Biaya listrik, telepon dan air juga ada bisa dilihat sendiri. Biaya akses internet. Membayar pembantu. Semuanya ada rinciannya.”

”Terus.. kalau saya dibilang memperkaya diri sendiri.. yang mana coba?” tanyaku serius.

**

”Tapi kemarin.. ada selentingan bahwa Anda melakukan pembicaraan dengan konglomerat-konglomerat yang ingin memanfaatkan Anda, Mr. President. Mereka disinyalir melakukan kongkalikong dengan Anda. Dan Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi bahkan telah menyadap pembicaraan telepon Anda.” tanya anggota fraksi itu kembali.

Aku tersenyum.

”Ooalaah.. itu to. Jawaban saya : Saya tak akan bertingkah seperti itu. Memalukan sekali.. dan mengenai hasil sadapan telepon.. bolehlah kalau ada.. ayo coba diperdengarkan di sini. Saya kok penasaran ingin dengar juga..” sentilku sama sekali tak takut. ”Saya ingin seluruh rakyat Republik Ini juga tahu apa yang saya bicarakan dengan konglomerat yang dikira hitam itu..”

Petugas dari KPTK mulai membuka file dan mencoba memperdengarkan sadapan pembicaraanku dengan konglomerat yang mereka duga adalah konglomerat hitam.

Semua mendengarkan dengan serius.

**

Presiden dengan orang yang diduga sebagai Brontoseno.

”Pak Presiden.. selamat pagi..”

”Pagi pak..”

”Ada acara apa nich..”

”Biasa.. ngelamun aja..”

”Wah.. mikir cewek ya Pak..”

”Anda bisa aja..”

”Makanya cepat kawin..”

”Ya dicarikan to Pak Bron..”

“Bener nich..?”

“Ya kalau nggak keberatan..”

“Pak Presiden suka yang gimana..”

”Yang tinggi pak Bron..”

”Oo.. yang kayak jerapah..”

”Haha.. ya janganlah.. yang ada gemuknya dikit..”

”Oo.. kayak gajah kecil maksudnya..”

”Kok bisa gitu..”

”Ya kan kalau gemuknya besar.. kayak gajah bengkak..”

”Bisa aja Anda ini..”

”Ya yang gimana lagi to Pak Presiden..”

”Yang putih Pak Bron..”

”Kayak sapi..”

”Bukan.. itu mah terlalu putih..”

”Oo.. yang agak klawu..”

”Lho.. kayak kucing nanti..”

”Lha yang gimana?”

”Ya.. yang kuning lah..”

”Trus kemerahan..”

”Ya.. baguslah..”

”Kayak ikan emas.. ”

”Lho..”

**

Presiden dengan orang yang diduga Brontoseno.

”Mau apa sih Pak Bron.. jam segini nelpon..”

”Ya.. mau nyumbang..”

”Saya gak mau disumbang.. presiden kok disumbang..”

”Bukan sampean..”

”Trus..”

”Untuk taman bacaan sampean..”

”Woo.. nyumbang apa?”

Buku-buku cerita anak-anak..”

”Bolehlah.. Tapi..”

”Tapi apa Pak?”

”Sampean harus tak ada pamrih..”

”Sumpah.. Pak. Tak ada pamrih..”

”Nanti minta proyek..”

”Nggak kok pak..”

”Awas kalau minta proyek..”

**

Presiden dengan orang yang diduga Brontoseno.

”Pak Bron tahu buku apa saja yang akan disumbangkan..?”

”Kata staf saya.. buku cerita..”

”Ya itu.. cerita apa..?”

”Sebentar.. ada kok daftarnya.. Nah ini..”

”Cerita tentang hewan..?”

”Bukan, Pak..”

”Judulnya aja..”

”Temaram Jakarta..”

”Lho.. itu novel, ya Pak Bron..”

“Nggak tahu.. ini kan cuma daftar..”

”Trus..ada lagi..?”

”Nih.. ada.. Gairah Malam..”

”Lho.. itu buku cerita apa sih Pak..?”

”Nggak tahu. Di daftarnya judulnya seperti itu..”

”Trus.. ada lagi..?”

”Yaa. ini.. mungkin untuk anak anak..”

”Apa?”

”Red Light District..”

”Ah.. itu bukan untuk anak-anak..”

”Ini lagi.. In Bed with Model..”

”Nah itu juga bukan untuk anak..”

”Waduuh.. keliru berarti..”

”Untung belum sampai ke taman bacaan..”

**

Presiden dengan orang yang diduga Brontoseno.

”Tapi kalau melihat daftarnya.. saya kok ingin tahu daftarnya..”

”Kenapa Pak Presiden..dengan daftarnya..”

”Siapa tahu bisa untuk koleksi saya, Pak Bron..”

”Waah.. Anda nyari apa sih? Coba tak lihate di daftar..”

”Ada Nick Carter..?”

”Mm.. sebentar.. oohh ada pak presiden.. lengkap dengan judul-judulnya..”

”Mm.. kalau Fredy S, ada nggak?”

”Sebentar.. ooh.. ada pak..”

”Kho Ping hoo..?”

”Ada pak..”

”Api di Bukit Menoreh..”

”Mm.. ada Pak..”

”Mm.. Pak Bron.. coba dilihat lagi daftarnya..”

”Ya Pak..”

”Gini lho Pak Bron.. yang penulisnya berinitial AA ada nggak??”

”Maksudnya.. kalau penulisnya hurufnya disingkat?”

”Iya Pak..”

”OOOh.. ini ada.. ada gambar panahnya..”

”Sudah pak.. jangan disebutkan disini..”

”Lho kenapa..?”

”Saya sudah tahu..”

”Masak sih?”

”Bukunya.. disitu.. diterangkan edisi stensilan, kan?”

”Mm.. iya Pak..”

Tuuuuttt..

Telepon ditutup.

**

”Naah.. coba.. sekarang mana yang perlu dicurigai. Pak Brontoseno itu bukan konglomerat hitam. Dia konglomerat yang berkulit hitam, tapi hatinya putih. Dia orang baik. Nah kalau Saudara-saudara anggota dewan ingin transparansi, baiklah. Silakan terus disadap telepon saya. Saya persilakan. Sadap saja. Saya maunya memang transparan..” aku mulai mendapat angin.

**

”Nah.. karena saya sudah ditanyai.. saya sudah menjawab.. dan saya juga sudah disadap telepon saya.. kini giliran saya untuk sekedar memberikan pidato tambahan.. kira-kira pimpinan sidang mengijinkan apa tidak, ya?” tanyaku.

Pimpinan sidang menganggukkan kepala. Aku bersiap menyiapkan pidato tambahan, tanpa teks dan dengan bahasa tubuh yang sudah kupersiapkan.

”Begini saudara-saudara anggota dewan. Saya lihat, masih banyak dari Anda yang tak pernah hadir di gedung ini waktu rapat. Sukanya cuman keluyuran, dan pas rapat.. kalau nggak tidur.. ya nggak datang. Nah Anda ini gimana siih.. katanya mewakili rakyat.. tapi kok keluyuran terus.. nggak hadir dalam sidang. Padahal, sidang-sidang di gedung ini kan untuk kepentingan rakyat.”

”Jadi intinya.. Anda harus amanah, saudara-saudaraku. Masih banyak yang harus dikerjakan untuk rakyat..”

Para anggota dewan diam seribu bahasa.

[ salam hangat untuk pembaca semua ]

Catatan :

Ada kabar gembira yang bisa saya share di sini. Saya sangat bahagia karena baru saja menerima bingkisan kaos bola dari seorang kompasianer, namanya mas Mulyadi Wagimun. Bagi saya, kaos ini sangat-sangat berharga dan sangat bersejarah.

Untuk itu, episode ini khusus saya persembahkan buat mas Mulyadi Wagimun di manapun Anda berada. Salam persahabatan dari saya, Mas. Terima kasih atas bingkisannya, moga Tuhan selalu mengaruniai rizki berlimpah kepada Anda dan keluarga. Amin.

Khusus untuk kru dan pengelola kompasiana.com, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga juga. Keep sharing and connecting..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun