[caption id="attachment_167421" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Ini kisah nyata dan pilu yang dialami seorang sahabat yang awalnya sama sekali tidak sengaja untuk memakai narkoba, tetapi akhirnya nasib berbicara bahwa selama bertahun-tahun dia harus menggunakan obat penenang yang diresepkan secara khusus oleh seorang dokter ahli syaraf. Sahabat saya itu bernama SA, dan saya merasa perlu menulis kisah hidupnya ini sebagai cermin bagi generasi muda negeri ini bahwa narkoba adalah barang yang wajib dijauhi sejauh-jauhnya.
Semasa mahasiswa, SA amat pandai secara akademik, menjadi aktifis kampus di sebuah PTN dan pintar menulis. Beberapa novel telah diterbitkannya, bahkan salah satu cerbung-nya pernah dimuat di sebuah koran nasional pada sekitar tahun 1990-an. Bagi pembaca yang punya arsip koran nasional pada tahun-tahun itu, pasti bisa menebak siapa SA. Meskipun sekarang SA sudah hidup normal layaknya orang kebanyakan, tapi tentu tak banyak orang tahu mengenai kondisi psikologis SA yang sebenarnya.
SA pernah bercerita bahwa dirinya terperosok ke dalam lembah narkoba oleh semacam mafia yang ingin membunuh idealisme-nya yang berapi-api ketika menjadi kampiun aktifis kampus yang menentang kebijakan-kebijakan rezim yang pada saat itu amatlah berkuasa. Dia merasa dijebak, dibawa ke suatu tempat dan disuntik narkoba dalam dosis yang amat tinggi oleh seseorang. Singkat cerita, dia terbangun dalam kondisi bak orang gila. SA merasa tak mengenali dirinya sendiri, tak tahu bagaimana berinteraksi dengan orang lain hingga hanya bisa terdiam saja dengan pikiran kosong dalam waktu yang tak bisa diperkirakan.
**
Pasca kejadian itu, kondisi SA semakin aneh dan tak terkontrol hingga keluarganya membawanya kepada seorang dokter. Hasil analisis dokter, terdapat ketidakseimbangan respon otak yang mengakibatkan kepada buruknya reaksi syaraf tubuh terhadap rangsang negatif. Intinya, SA tak mau menerima kejadian negatif yang tertuju kepadanya. Jika ada orang lain yang tidak berkenan baginya, maka dia akan segera mengamuk. Jika ada peristiwa yang didengarnya dan dia merasa tidak nyaman dengan peristiwa itu, maka dia akan sakau dan membanting apapun yang ada. Pendek kata, hanya lingkungan dan orang dengan hal-hal positif saja yang bisa menemaninya.
Entah apa namanya, sindrom ketidakmampuan otak menerima rangsang negatif telah membunuh SA dalam jangka waktu lama. Secara nyata, tak mungkin ada rangsang positif terus menerus dalam interaksi sosial manapun. Karena itu, dokter lantas selalu memberikan semacam ’narkoba’ untuk membantu menyembuhkan kondisinya pada saat sakau-nya berada pada titik tertinggi. Jika tidak, mungkin semua kaca rumahnya akan pecah dan semua barang di rumahnya berantakan karena dibantingnya. Memilukan, menyedihkan dan amat mengharukan.
**
Beberapa tahun terakhir ini, dengan dukungan sahabat dan orang-orang terdekatnya, SA mulai melepaskan diri dari ketergantungan obat-obatan yang telah bertahun-tahun menemaninya dengan menjalani terapi dzikir, sebuah ritual pendekatan diri kepada Tuhan Sang Pencipta. Bahkan, SA mengikuti thariqah, semacam komunitas dzikir di lingkungan pesantren. Langkah itu bisa menjadi yang terbaik karena berdzikir bisa menenangkan hati dan jiwa, menjadi obat ampuh penangkal situasi dan kondisi se-negatif apapun, dan menjadi sebuah terapi yang amat efektif dalam menyembuhkan sakau.. [ ]
Salam Kompasiana,
Mr. President
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H