Suara kembang api masih bersahutan ketika langkah kaki hampir sampai. Dua ribu sebelas hampir usai, dua ribu dua belas tengah menatap kaki langit. Kembang ini tak seharusnya layu meski mungkin bisa layu. Tak laku. Tak ada yang sudi meliriknya, kecuali simbok yang tergopoh menuju pagar.
“Oh.. Nak Joe. Non Putri sejak tadi pergi dengan.. mm..” kata Mbok Jum ragu.
“Hmm.. iya mbok. Saya juga sudah tahu kok. Dia pasti sedang bersama Rico..” jawabku tegas.
“Lha terus.. Nak Joe.. “
“Saya hanya mau nitip kembang ini mbok Jum. Nanti kalau Non Putri sudah pulang, tolong sampaikan kembang saya ini ya..”
Mbok Jum mengangguk, dan akupun pergi.
**
Suara kembang api mulai hilang, mendung hiasi langit dan hujan turun dengan derasnya. Mataku tak jua bisa terpejam. Satu Januari dua ribu dua belas pukul dua dinihari saat tiba-tiba suara ketokan terdengar dari pintu kontrakanku. Aku segera membuka pintu dan kulihat bidadari itu basah kuyup sambil membawa bungaku. Aku segera mendekapnya, kubiarkan dia menangis dan merasakan kehangatan di dadaku.
“Aku salah, Joe. Aku tidak benar-benar lari darimu. Aku tak mencintai Rico. Aku bersamanya hanya karena tak ingin mengecewakan papa. Tapi aku hanya mencintaimu saja, Joe. Aku tak bisa membohongi diriku..” suara itu lirih diselingi sesenggukan yang menyayat hati.
**
Aku mengelus rambutnya yang basah. Mulanya aku bukan siapa-siapa baginya. Aku hanya menyentuh hatinya, mencoba wajar mengakui cintaku kepadanya. Lantas aku melihatnya dengan obyektif, mengakui kelebihan dan kekurangannya, lantas menerima dia apa adanya.