Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Etika Telah Mati dalam Kiriman Peti Mati

7 Juni 2011   00:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:47 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_114767" align="alignright" width="300" caption="from google"][/caption]

Langkah gila Sumardy untuk menerobos inovasi marketing ternyata kebablasan. Dia ditangkap polisi dan dimintai keterangan. Pasal perbuatan tidak menyenangkan bisa diarahkan kepada pakar marketing ini. Apalagi, Kompas dan PT. Orang Tua sudah melaporkannya ke pihak yang berwajib. (sumber : detik.com)

Ide gila juga sempat terjadi ketika Tung Desem Waringin, seorang motivator terkenal berusaha menyebar uang 100 juta dari pesawat. (sumber : kompas.com, 1 Juni 2008). Dan ide-ide gila yang lain, tentu saja akan terus bermunculan. Semua ide itu, pasti hanya akan menuju ke satu titik. Inovasi untuk mencari perhatian. Selebihnya, tentu saja akan berkait erat dengan produk yang akan dipasarkan, atau benefit yang akan didapat. That’s it.

**

Tak ada yang salah dengan ide. Pun tak ada yang salah dengan inovasi yang jenius di bidang marketing atau yang sejenis. Tapi jika kebablasan? Tentu akan berhadapan dengan tembok yang besar dan tebal. Sebab, ceruk pasar bukanlah benda mati. Masyarakat bukanlah mesin atau batu. Mereka adalah civil society yang ternyata bisa membedakan mana yang jenius dan mana yang brutal. Mereka bisa membedakan mana yang cerdas dan mana yang olok-olok.

Apalagi jika Anda berhadapan dengan media. Jika Anda berhadapan dengannya, persis sama dengan melempar bumerang dalam jarak yang lumayan pas untuk menusuk perut Anda sendiri. Maunya taktis, eh.. malah akan miris hingga Anda teriris.

**

Sumardy tidak hanya gila. Ia tidak mempunyai rem yang pakem untuk memilah wacana mana yang harus ditempatkan ke dalam dunia instan, dan wacana mana yang harus ditempatkan ke dalam dunia kemanusiaan yang sensitif. Kematian adalah wacana sensitif kemanusiaan dan peradaban. Kematian adalah relung yang dipenuhi aspek etika. Dan tentunya, segala yang berhubungan dengan kematian pasti akan mendapatkan apresiasi yang sama. Termasuk urusan peti mati.

Seseorang yang sedang melayat, dia akan berkata dengan lirih,”Dari hati saya yang terdalam, saya berbela sungkawa. Semoga almarhum mendapatkan tempat yang layak di sisiNya..”

Bahkan, peti mati akan selalu dilingkari oleh orang-orang tercinta, handai taulan dan para kerabat sang penghuni peti itu. Mereka terdiam, bersedih dan meneteskan air mata. Mereka bahkan tak henti-hentinya berdoa agar sang almarhum berada di dalam kedamaian di alam sana.

Meskipun peti mati adalah alat, meskipun peti mati adalah wadah, tapi dia simbol yang amat sensitif bagi keberlangsungan aspek sosiologis manusia. Siapa yang tidak bersedih jika melihat peti mati?

**

Anehnya, Sumardy dengan amat pede mempermainkan simbol itu. Apa yang ingin diraihnya? Tentu saja ia ingin meraih kesan kilat akan sebuah apresiasi produk atau entitas gemerlap yang jauh dari aspek sosiologis kematian. Sumardy meraih ranah sunyi kematian dan menariknya ke dalam hiruk pikuk inovasi marketing yang diyakininya merupakan ide brillian. Sementara kenyataannya, apa yang dilakukannya tak meraih simpati apapun, bahkan bisa melukai sensitifitas salah satu fase terpenting kehidupan, yaitu kematian.

**

Inovasi tiada henti, mutlak dilakukan. Tensi dan kompetisi memang meningkat tajam seiring bertumbuhnya pelaku bisnis dan pelaku marketing. Jika tidak mempunyai ide hebat atau terobosan yang tajam, bisa-bisa akan tertinggal dan terkapar. Seperti sering dinyatakan oleh pakar marketing Hermawan Kertajaya, gelombang marketing telah memasuki era baru. Bagi yang masih berkutat di era yang lama, bersiap-siaplah untuk tergilas gelombang baru itu yang tentu saja sungguh tinggi menjulang layaknya tsunami saja.

Tapi ingat juga. Masyarakat madani tak pernah tinggal diam jika gelombang baru itu justru menerobos liku-liku kesadaran paling sakral dan simbol-simbol kemanusiaan. Kesadaran sosiologis juga harus diperhatikan karena masyarakat juga memiliki kehidupan dan sensitifitas. Meski banyak yang bilang bahwa kita sudah seperti robot di jaman mutakhir ini, tapi sungguh, kita juga tetaplah manusia yang setiap saat juga akan dijemput maut.. dan akan berada di dalam peti mati. Jadi, jangan bermain-main dengan peti mati itu.[ ]

Salam Kompasiana,

Mr. President

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun