Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Andai Aku Presiden RI Episode 57 – “Sepur dan Sekuter”

5 Februari 2010   15:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:04 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peneliti yang pernah memintaku menceritakan masa kecilku itu kembali datang ke istana kepresidenan.

”Maaf Mr. President. Saya tak pernah bisa tidur akhir-akhir ini hanya karena ingin mendengar cerita masa kecil Anda. Apakah Anda tak keberatan kalau saya mengorek lagi keterangan mengenai kisah masa kecil Anda, Mr. President?” tanya si peneliti amat berharap.

”Ya saya sama sekali tak keberatan. Cuma, apakah ada gunanya jika kisah-kisah masa kecil saya itu diteliti?” tanyaku asal.

”Ya jelas ada gunanya to Mr. President. Paling kurang.. ini untuk mengenang masa-masa lampau. Wong lagu kuno semacam Juwita Malam saja juga masih sering diperdengarkan ke generasi jaman sekarang ini..” jawab si peneliti.

”Oke kalau begitu..” aku menyetujuinya, dan mulai bercerita.

**

Ada hal penting yang masih kuingat di masa lampau. Yakni, mengenai bagaimana orang-orang bepergian memakai alat transportasi tradisional seperti dokar, cikar dan sepur. Dokar adalah bendi dengan kudanya, cikar adalah bendi yang ditarik oleh sapi, dan sepur adalah kereta api uap. Mobil masih tak begitu banyak, dan tak bisa dibandingkan dengan alat transportasi di jalanan ibukota saat ini.

Jalan-jalan di Jakarta saat ini, sudah penuh dengan mobil-mobil mewah. Atau mobil Built Up yang wah. Membuatku bersumpah serapah. Bahwa suatu saat aku harus berubah. Menjadi orang yang tidak susah. Yang harus merengkuh keinginan walau harus bersusah payah. Untuk mampu membeli mobil mutakhir yang gagah. Apapun komentarmu, terserah. Sebab cita-citaku itu memang tidak mudah. Walah!

Sudah.. sudah..

**

Pertama, yang kuingat di waktu kecil adalah alat transportasi yang bernama ‘kereta api’. Ini adalah angkutan masal yang pada jaman sekarang ini masih tetap eksis dan lebih canggih. Bahkan konon, di luar negeri sana, sudah ada kereta api supersonik. Yang kecepatannya benar-benar tak bisa kupercaya. Sebab, aku memang belum mencobanya.

Tapi, kereta api di masa kecilku itu lain sekali. Dulu, aku dan semua orang di kampungku, menyebut alat transportasi itu dengan sebutan ‘sepur’. Entah darimana asal kata itu. Mungkin bahasa Belanda. Nah, ternyata, kata-kata ‘sepur’ itu hingga kini masih bisa ditemukan di banyak pintu perlintasan kereta api yang ada palang pintunya karena rel kereta api itu berpotongan dengan jalan raya. Kalau kamu sempat melihat perlintasan kereta api, tolong cari tulisan ‘sepur’ di sana. Biasanya, tulisan itu berbunyi,”Awas! Kereta Api Satu Sepur!” Jadi, Perusahaan Kereta Api itu memang membedakan definisi antara kereta api dan sepur.

Kereta api ‘sepur’ dimasa kecilku itu memang melintas di dekat rumahku. Dan aku ingat sekali jika sebutan nama sepur yang melintas di dekat rumahku itu malah ditambahi dengan julukan lain oleh orang-orang di kampung kami. Sebutannya menjadi ‘sepur kluthuk’.

Mengapa disebut begitu? Mungkin saja karena kecepatan jalannya amatlah pelan. Kemungkinan lain, nama ‘sepur kluthuk’ diambil untuk membedakan definisi ‘sepur kereta api’ dengan alat milik dinas pekerjaan umum yang digunakan untuk mengeraskan jalanan yang baru diaspal yang banyak disebut orang-orang di sekitar kampungku sebagai ‘sepur tumbuk’.

Jadi, kalau berkunjung di kampungku pada saat aku masih kecil, bedakan definisi antara ‘sepur kluthuk’ dan ‘sepur tumbuk’. Sebab, dua-duanya memang sangat lain.

Sepur kluthuk yang melintas di dekat rumahku itu, kecepatan jalannya sungguh ‘nggremet’. Itu istilah Jawa dari ‘pelan bangeet’. Sebab, bahan bakar untuk menggerakkn sepur itu berasal dari kayu yang dibakar untuk merebus air, dan uap panas yang dihasilkan bisa menggerakkan sepur.

Jadi, mungkin lebih pas kalau sepur di kampungku disebut dengan ‘kereta api uap’. Sebab, jalannya memang memakai uap. Dan aku ingat sekali, sepur di kampungku itu warnanya hitam legam. Tentu tidak seperti Kereta Api Bima atau Argo Anggrek yang warnanya lebih bersih. Sepur di kampungku pada saat aku kecil itu, hitamnya ‘nggales’. Itu istilah Jawa untuk ‘Hitam sekali’. Yaah.. miriplah dengan wajah seorang negro di kegelapan malam, yang iseng memakai bedak dari arang kayu.

Akibatnya, itu pertanda buruk bagi teman-temanku yang kulitnya hitam agak legam. Pasti olok-olok yang muncul adalah bahwa mereka dipanggil dengan ‘sepur’. Tapi terkadang, olok-olok semacam itu sudah biasa saja. Meskipun memang sungguh tidak beradab. Sebab, mana ada manusia yang mampu memesan warna kulitnya kepada Tuhan?

**

Aku masih sanggup mendengar sayup-sayup suara sepur. ‘TTuuuutt’. Memang seperti itu. Dilanjutkan dengan ‘Jes Ejes Ejes.. Jes Ejes Ejes..’. Bagi yang mau bepergian memakai sepur uap, silakan cepat bersiap-siap. Soalnya, sang ‘sepur’ bakal ngetem sebentar di stasiun yang jaraknya kurang lebih satu kilometer dari rumahku. Tentu saja untuk menambah kayu bakar. Bahan bakarnya sepur.

Sepur di jamanku itu, juga populer sebagai tema teka-teki. Ada pertanyaan seperti ini. ‘Ada peristiwa. Sang ibu menjahit, sang anak menangis, dan sang ayah merokok. Apakah itu? Jawabnya, sepur. Lihat saja! ‘Jes Ejes ejes adalah suara sang ibu menjahit. Tuut adalah suara sang anak menangis. Dan kepulan asap dari cerobong sepur, menandakan sang ayah sedang merokok.’ Walah! Teka-teki kok ‘ndeso’ banget.

Dua kali sepur itu melintas di dekat rumahku. Pertama, sekitar jam 05.00 pagi. Kedua, sekitar jam 09.00 malam. Memang, manfaat dari sepur ini juga sebagai pengingat waktu. Jika terdengar suara tut di pagi hari, berarti itu sekitar jam 05.00. Jika terdengar lagi tut di malam hari, itu berarti sudah jam 09.00 malam.

Sepur memang selalu disiplin. Sehingga bisa menjadi patokan. Makanya, aku pernah melihat sebuah sekolah kereta api ketika pas di Bandung sekitar beberapa tahun yang lalu. Dan para mahasiswa sekolah kereta api itu dididik ala militer yang harus menjunjung tinggi kedisiplinan.

Waktu itu aku berpikir. Mengapa harus begitu, ya? Lalu, aku menemukan jawabannya ketika akhir-akhir ini sering bepergian memakai kereta api. Ya karena jadwal kedatangan maupun kepergian kereta api dari dan menuju ke stasiun itu sangatlah padat dan harus diatur sedemikian hingga harus ketat. Sebab, jika tidak demikian, maka kecelakaan akan terjadi berkali-kali.

Begitu juga dengan penjaga palang pintu perlintasan kereta api. Mereka juga harus disiplin dan tidak boleh mengantuk. Kalau itu dilanggar, jangan harap tidak ada korban berjatuhan lebih banyak di pintu perlintasan.

**

Nah, kini aku ingin bercerita mengenai kejadian lucu ketika aku bersama kakek naik sepur. Waktu itu, kakek memang ingin mengunjungi saudaranya. Dan karena lama tidak naik sepur, jadilah kakek memutuskan naik sepur itu. Dan tentu saja, mengajak aku, cucu kesayangannya.

Pagi-pagi benar aku dibangunkan kakek untuk bersiap. Waktu itu, aku masih ingat, aku memakai kaos yang warnanya putih agak cream. Pokoknya warna yang cerah. Hari itu, memang pengalaman naik sepurku untuk yang pertama kalinya.

Singkat cerita, aku dan kakek sudah duduk di gerbong paling depan. Dekat dengan lokomotif. Aku duduk di samping kakek dan memperhatikan para kru sepur klutuk yang menaikkan kayu-kayu bakar dan ada juga yang membawa alat-alat seperti engkol, entah untuk apa gunanya.

Beberapa menit kemudian, sepur berjalan. ‘Tuuutt’, ‘Jes Ejes Ejes’. Mula-mula aku tidak menghiraukan apa-apa. Rasanya, cuman senang aja. Tetapi, lama-kelamaan aku mulai tidak nyaman. Apa sebabnya? Sebab, sepertinya, titik-titik api dari pembakaran uap mulai keluar dan menjadi ‘langes’. Itu istilah jawa untuk titik api kecil yang warnanya hitam dan kemudian menjadi abu.

Parahnya, titik-titik api kecil itu mulai mengenaiku. Mukaku dan juga bajuku. Sebenarnya, tidak begitu banyak sih. Cuman, jika itu terjadi dalam waktu yang lama, kan jelas tidak lucu. Aku sempat protes kepada kakek, tapi kakek malah bilang,”Sudah gak papa. Sebentar lagi hilang kok abunya.”

Aku percaya saja dengan jawaban kakek. Tapi, ketika kami sudah sampai, dan turun di stasiun berikutnya, percaya atau tidak, bajuku sudah seperti kain batik cap pekalongan. Ada ornamen-ornamen hitam dan coklat di sana sini. Sungguh, saat itu aku sangat malu. Untungnya, aku tidak membawa cermin waktu itu. Jika aku bercermin, tentu saja aku akan melihat ‘Lutung Kasarung’ (monyet) baru turun dari ‘Kahyangan’.

**

Sebagai alat transportasi masal, sepur memang berjasa. Betapa tidak? Dengan biaya yang murah, sepur sanggup mengantarkan ratusan penumpang. Tapi, diam-diam aku melihat manfaat lain dari sepur. Orang-orang di sekitar rel sepur, sering memipihkan paku dudur (paku besar) di atas rel sepur untuk dijadikan pisau kecil. Maklumlah, besi manapun, kalau tergilas roda sepur pasti gepeng. Selain itu, aku belum menemukan hal-hal unik lainnya mengenai sepur kecuali maraknya para kartunis membuat lelucon mengenai kereta api atau sepur. Yang digunakan untuk bunuh diri, lah. Yang relnya putus lah. Dan sebagainya.

Kini, sepur klutuk di dekat rumahku itu tinggal cerita saja. Besi-besi relnya banyak dicuri orang. Areal rel sepurnya banyak yang dijadikan rumah permanen. Sayang sekali.

**

Selain sepur, dulu ada sebuah kendaraan yang sangat legendaris. Dan ternyata, dijaman sekarang pun, masih banyak berkeliaran di jalanan. Dia adalah.. SEKUTER.

Mengapa aku katakan legendaris? Karena, hanya itu satu-satunya kendaraan yang dikampungku telah berhasil masuk ke dalam syair nyanyian atau parikan (pantun) anak kecil. Bunyinya kira-kira begini.

.....

Ayo sinau ben pinter

Besok gedhe dadi dokter

Lan iso numpak sekuter

....

Inti dari nyanyian diatas adalah ‘mari belajar biar pinter dan kalau sudah besar bisa menjadi dokter dan bisa naik sekuter’. Ini sangat menarik menurutku, karena sekuter sangat identik dengan dokter. Mungkin saja, dokter jaman dahulu selalu naik sekuter. Atau sebaliknya, biar bisa naik sekuter, harus menjadi dokter dulu.

Aku mungkin tak mengindahkannya. Terbukti, aku melihat Om Arip telah mampu membeli sekuter meskipun ia tidak menjadi dokter. Dan aku sama sekali tidak bercita-cita menjadi dokter. Karena, tanpa menjadi dokter pun, aku telah mampu menaiki sekuter milik Om Arip. Aneh, kan??

Sekuter jaman dulu, tidak seperti sekuter jaman sekarang ini yang memang sangat modern. Bahkan, sekarang ada sekutik. Sekuter otomatik. Motor model baru yang mirip sekuter, tapi modis dan stylish. Diiklankan di tipi dengan model penyanyi kenamaan sambil bilang,”I’am sekutik. Sekuter Otomatik.”

Alasan kedua mengapa sekuter menjadi legendaris, karena sekuter telah menjadi trendsetter jaman dulu. Simak saja filem-filem remaja era jadul. Kamu pasti menemukan adegan seorang pemuda yang memakai baju ketat dengan kerah lebar, memakai celana panjang cut brey yang bagian bawahnya sanggup untuk menyapu tanah, memakai kacamata belo hitam, rambut setengah kriwul, sepatu hak tebal, dan pasti naik.. sekuter.

Dan digambarkan disana, betapa cewek-cewek sangat mudah disamperin memakai sekuter ini. Sekali sang pemuda bilang,”Ayo neng, abang anterin pake sekuter,” maka sang cewek langsung menjawab,”Oke bang sekuter.”.

Permasalahannya, ini menyangkut ilmu sosiologi. Sejarah sosiologi dan peradaban. Aku ingin mengadakan penelitian. Berlakukah model seperti itu dijaman sekarang ini? Aku menyarankan pembaca untuk mencobanya. Cobalah memakai gaya dandanan seperti yang kusebutkan diatas, kemudian naikilah sekuter jadul, dan samperin cewek kuliahan di depan kampus.. misalnya kampus UI di Depok. Trus, bilang dengan yakin,”Ayo neng, abang anterin pake sekuter,”. Aku tidak yakin jika si cewek tidak merengut dan tidak pura-pura acuh. Bahkan, jika si cewek lagi jalan sama cowoknya, aku tidak yakin jika si cowok tidak langsung mengambil batu besar buat menimpuk sang pemuda. Mudah-mudahan pembaca tidak menuruti saranku ini. [ ]

[ salam sepur dan sekuter ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun