Mohon tunggu...
Zuhdy Tafqihan
Zuhdy Tafqihan Mohon Tunggu... Tukang Cerita -

I was born in Ponorogo East Java, love blogging and friendship..\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Andai Aku Presiden RI Episode 24 – “Manuskrip”

22 Desember 2009   00:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:50 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

”Anda dijadwalkan mengunjungi perpustakaan nasional pagi ini..” kata Natalia.

Perpustakaan?? Waah.. tempat yang nyaman.. dan memabukkan..” komentarku singkat.

Natalia memandangiku seperti baby sitter yang memelototi bayi.

”Saya heran sekali. Anda kok sama sekali tidak menanyakan dalam agenda apa Anda harus mengunjungi perpustakaan nasional, jam berapa, pidato yang seharusnya disiapkan..” sentil Natalia.

”Ups.. sorry Natalia. Memangnya.. ada agenda apa? Meminjam buku? Nah kalau itu.. sudah kurencanakan sejak kemarin lusa. Jika aku berkunjung ke sana, aku akan meminjam buku komik terbaru..” jawabku asal. ”Dan ingat komik, berarti ingat Putri Awan.. mengapa kita tidak mengajaknya juga..??”

”Aaarrgh.. Mr. President. Saya tidak suka guyonan murahan seperti itu. Norak! Kampungan!”

Aku tersenyum.

”Katakan saja bahwa kamu tidak suka jika aku dekat-dekat dengan Putri Awan.” balasku.

**

”Anda akan meresmikan proyek perpustakaan keliling. Sebuah proyek pemasyarakatan gemar membaca di kalangan masyarakat..” jawab Natalia taktis. ”Dengan memakai media baca keliling, masyarakat akan dekat dengan buku dan informasi. Di dalamnya juga ada akses internet gratis. Itu sekilas gambarannya, Mr. President.”

”Aku tertarik sekali..” aku memandangi Natalia.

”Memang itu sebuah inovasi. Embrio literacy informasi. Anda pantas tertarik..”

”Bukan itu..”

”Maksudnya??”

”Aku tertarik denganmu. Bajumu bagus sekali pagi ini. Dandananmu.. Kamu memakai eye shadow yang agak kebiru-biruan dikit ya.. soft.. tidak norak.. bagus itu.. cocok dengan warna baju dan aksesorisnya..”

Natalia menggerutu,”Sepertinya Anda harus cuci muka dulu.. saya lihat.. Anda masih mabuk..”

Dia menggerutu.. tapi aku yakin.. hatinya pasti berbunga-bunga.

**

”Selamat datang Mr. President..”

”Selamat datang.. Mr. President..”

Para pejabat dan pengelola perpustakaan nasional menjabat tanganku satu per satu. Aku menarik nafas panjangku dan melihat-lihat ke sekeliling. Perpustakaan nasional telah berbenah dan sekarang sangat luar biasa. Gedung yang megah, sarana yang komplit, dan koleksi yang memadai. Terakhir, tentu saja inovasi menyangkut ”literacy informasi”. Dan tentu saja untuk menuju ”learning society”.

Terkadang, otakku sebenarnya.. encer juga. Tapi.. tentu saja masih banyak virusnya. Maklumlah.. kan aku belum kawin.. he he..

Di tengah-tengah kunjunganku ke setiap sudut ruangan perpustakaan, aku memperhatikan sesosok manusia aneh.. mungkin karyawan disitu.. Orangnya agak gondrong dan matanya sipit dan merah. Mungkin saja kurang tidur.

Aku menyalaminya dan karena aku menaruh perhatian yang lebih, tentu saja itu menjadi fokus para pejabat di situ. Mereka mengantarkan aku untuk ngobrol dengan orang itu.

”Siapa namamu, Mas?” tanyaku kepadanya.

”Saya Jadug, Pak Presiden..” jawabnya.

”Jadug.. Nama yang bagus. Itu artinya Sakti. Kamu.. di bagian mana?” tanyaku ingin tahu.

”Saya.. konservator dan penjaga naskah-naskah kuno, Pak Presiden..”

Glekk. Naaahh.. ini yang kucari, pikirku kemudian.

**

Aku meminta izin kepada pimpinan dan deputi di lingkungan perpustakaan nasional untuk minta waktu sedikit berinteraksi dengan Jadug. Empat mata saja. Aku meminta Jadug mengajakku ke ruangannya dan aku meminta untuk menutup pintu dan bahkan menguncinya. Aku hanya ingin dengan dia saja. Tak boleh ada yang masuk ruangan itu.

”Saya tertarik sekali dengan naskah kuno. Manuskrip. Kamu bisa menjelaskannya..” kataku kepada Jadug.

”Terima kasih, Pak. Di sini, banyak naskah kuno. Mulai dari manuskrip Mahabarata, Serat Centini, dan lain masih banyak. Naskah kuno suku-suku dari Batak dan Bugis juga ada. Bahkan.. diantara manuskrip-manuskrip kuno itu.. ada yang masih.. menyimpan aroma magis.. mistis..” jawab Jadug menjelaskan.

”Maksudmu.. ada penunggunya, gitu?” tanyaku. Dahiku mengkerut.

”Benar, Pak. Saya kadang-kadang diweruhi. Maksudnya.. mereka kadang menampakkan diri..” jawab Jadug. ”Tapi.. ah, itu sudah biasa Pak. Bagi saya.”

**

”Mm..mm.. jadi kamu banyak tahu ya..tentang semua manuskrip-manuskrip di sini??” tanyaku kemudian.

”Dari A sampai Z, insya Allah saya hapal, Pak Presiden. Karena, saya juga mempelajarinya..”

Aku manggut-manggut.

”Tapi.. kalau boleh tahu.. sebenarnya.. apa sih yang ingin Bapak Presiden ketahui???” tanya Jadug antusias.

**

”Begini, Jadug. Tapi ini rahasia lho ya.. jangan kamu ceritakan kemana-mana. Kamu janji?” aku memelototi Jadug.

”Wah.. mana berani saya membocorkan rahasia orang nomor satu di negeri ini??” jawab Jadug taktis.

**

”Mm.. Jadug.. apa kamu tahu dimana manuskrip mengenai ”Ajian Jaran Goyang” atau ”Ajian Semar Mesem” atau ”Ajian Panglemunan”.. ” tanyaku pelan.

Mata Jadug mendelik kepadaku.

”Mm.. bapak mau mengguna-gunai cewek, Pak???” tanya Jadug dengan mimik muka tegang dan aneh.

”Tidak, Jadug. Itu hanya untuk memperkaya khazanah pengetahuanku saja..” jawabku tak kalah taktis.

Jadug manggut-manggut dan kemudian mengajakku melihat sebuah bungkusan yang dibungkus memakai kertas kasa berisi potongan-potongan daun lontar.

”Ini Pak. Ini ada mantera yang Bapak maksud tadi..” jelas Jadug kemudian.

Whooo.. cihui....

**

”Begini, Pak. Meskipun Bapak sudah bersimpuh, melepaskan baju yang atas.. sambil merapal-rapal mantera itu.. itu masih belum bisa Pak. Kan sudah saya jelaskan tadi.. semua mantera itu mempunyai ’laku’. Tirakat. Ada syarat puasanya dulu.. tidak langsung dibaca begitu saja..” Jadug menjelaskannya dengan rinci.

”Woo.. begitu ya..” aku nampak seperti orang yang idiot di depan Jadug.

**

”Ya sudah kalau begitu. Kapan-kapan saja kamu kuundang ke istana. Nanti kamu jelaskan lagi. Aku soalnya tertarik sekali dengan yang itu tadi..” kataku sambil membetulkan baju atasku.

”Ya Pak Presiden. Nanti akan saya bawakan lengkap beserta dokumentasi-dokumentasinya. Termasuk yang ajian.. yang bisa membuat orang bisa menghilang itu ya Pak..”

”Siip..”

**

Pintu ruang manuskrip kuno dibuka Jadug, dan puluhan orang sudah menantiku untuk meresmikan proyek baru perpustakaan nasional. Namun, aku melihat sesosok bayangan keluar juga dari ruangan Jadug.

”Eeh.. siapa itu tadi??” tanyaku kepada Jadug.

Jadug menoleh ke arah orang yang ngacir sambil membawa kamera dari ruangannya.

”Mungkin wartawan, Pak..” jelas Jadug.

WARTAWAN??? WADDDUUUHHH!!!

**

Aku tak tega melihat headlines media esok paginya.

PRESIDEN MEMPELAJARI AJIAN JARAN GOYANG DAN SEMAR MESEM. SIAPA YANG AKAN DIBIDIK??

Aduuuuhhh...

[ senyum tulus dari hatiku yang paling dalam untuk yang membaca naskahku ini ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun