Tulisan ini ingin menyoroti beberapa langkah penting yang pernah dilakukan Jokowi dalam perspektif Actor-Network Theory,disingkat ANT (Latour, 2005) maupun perpekstif Right to the City, disingkat RTTC (Lefebvre, 1996) untuk mengungkap tiga kekuatan kepemimpinan yang sangat dibutuhkan DKI. Pertama, kemampuan Jokowi dalam men-translasi apa yang lived dalam masyarakat ke dalam “praktek” yang lebih luas menjadi bukan sekedar “wacana” seperti terlihat dalam kasus mobil ESEMKA, meskipun terhambat kepentingan ekonomi politik yang lebih besar. Dalam kasus ini Jokowi bukan hanya merepresentasikan dirinya sebagai “aktor lokal”, tetapi dia berusaha memperjuangkan “impian nasional” yang ideal-nya disuarakan oleh kepemimpinan nasional atau setidaknya oleh seorang menteri.
Kedua, kemampuan Jokowi dalam meng-orkestrasi kekuatan dominan dalam kehidupan kota, seperti terlihat pada kasus pengereman mini market dan pemberdayaan pasar tradisional. Disini keberpihakan Jokowi tehadap warga kota yang lemah “jelas” terlihat, tetapi dia juga menjamin RTTCbagi semua warga kota baik yang berlebihan power maupun yang kekurangan power. Kemampuan mengerem yang terlalu cepat dan kuat sebaliknya mendorong dan memberdayakan yang lemah sangat dibutuhkan Jakarta, sehingga pembangunan kota bisa menjadi milik semua warganya.
Ketiga, Jokowi mampu melakukan tindakan lintas batas (Innes, 2010) atau “beyond boundary spanning” baik lintas sektor (cross-sector), lintas-batas administrasi (cross-jurisdictional), dan lintas skala ruang (cross-spatial scale) untuk mengatasi kendala dana, administrasi, maupun otoritas seperti terlihat dalam kasus relokasi warga bantaran Bengawan Solo yang memanfaatkan skema dana di tingkat nasional untuk kepentingan pembagunan lokal yang tidak bisa didanai dari APBD dan melibatkan banyak sektor mulai sektor sumberdaya air sampai dengan sektor permukiman. Kemampuan tindakan “beyond boundary spanning” sangat dibutuhkan Jakarta untuk mengatasi kasus banjir maupun kemacetan misalnya, yang harus melibatkan daerah sekitarnya, tetapi terkendala masalah kelembagaan, seperti gagasan Sutiyoso mengenai megapolitan yang memiliki otoritas lintas batas, tetapi belum terealisir.
Kemampuan mentranslasi
ANT merupakan teori ‘translasi’, menjelaskan bagaimana inovasi atau sekumpulan ide ‘diterjemahkan’ secara ruang dan waktu untuk berbagai tujuan ke dalam bahasa sehari-hari “pembuat keputusan” kunci dengan cara mengganti atau mentransformasi ide yang sekarang ada menjadi kerangka fikir dominan dan menjadi pusat acuan. ANT dikembangkan Bruno Latour (2005) setelah mempelajari bagaimana Louis Pasteur melalui power dan pengaruhnya berhasil mengatasi masalah basil anthrax yang mewabah di Perancis. Dengan memanfaatkan laboratorium di Ecole Normale Superieure, Pasteur berhasil mentranslasi aktivitas agen mikroba menjadi solusi bagi masalah penyakit ternak, epidemik, dan sanitasi. Untuk mencapai maksudnya, Pasteur membentuk jejaring aliansi antara fakta alami, entitas pendanaan, disiplin keilmuan, dan publik yang lebih luas. Keberhasilan Pasteur diikuti dengan munculnya lembaga kesehatan publik di negara tersebut yang menyediakan dukungan kelembagaan untuk menyebarluaskan teori kuman baru di seluruh Perancis, dan kemudian dunia.
Apa yang dilakukan Jokowi dengan mengangkat isu mobil ESEMKA seandainya mendapat dukungan secara kelembagaan dan ada kemauan politik di tingkat Nasional, bukan tidak mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama kita akan memiliki mobil nasional sendiri. Yang menjadi point di sini adalah Jokowi mampu menangkap aspirasi terdalam yang hidup di bawah sadar mayoritas warga negara RI (lived space) dan menerjemahkannya ke dalam “praktek” (practical space) dengan mengambil momen yang tepat yaitu mengganti mobil dinas dengan mobil ESEMKA di hari pertama masuk kerja di awal tahun baru dengan pemberitaan yang luas, sehingga gaungnya menasional. Jakarta sangat membutuhkan pemimpin yang memahami betul apa yang menjadi cita-cita warganya dan mampu mentranslasikannya menjadi praktek dan bukan sekedar perencanaan induk (master plan) yang hebat di atas kertas dan wacana di atas panggung kampanye tetapi miskin realisasi.Di sini pemimpin harus mampu mengambil tindakan “beyond boundary spanning” baik lintas sektor, lintas-batas administrasi, dan lintas skala ruang untuk mengatasi kendala dana, administrasi, maupun otoritas dengan membuat jejaring baik dari unsur pemerintah daerah sendiri, pemerintah pusat, akademisi, pers, dan masyarakat sendiri seperti dilakukan Louis Pastour di atas.
Right to the City (RTTC)
Berbicara RTTC berarti mempertanyakan siapa yang memiliki kota, bukan dalam pengertian kontrol individu secara langsung terhadap sebuah aset, tetapi dalam pengertian kolektif kemampuan tiap-tiap kelompok untuk mengakses pekerjaan dan budaya, untuk hidup dalam rumah yang layak dan lingkungan kehidupan yang berkelanjutan, untuk mendapatakan pendidikan yang menyenangkan, untuk menjaga keamanan pribadi, dan untuk berpartisipasi dalam urban governance (Fainstein, 2005). Pemikiran Fainstein mirip dengan Amartya Sen (1999) dalam “Development as freedom”. Pembangunan tidak diartikan sempit sebatas pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), atau naiknya pendapatan per kapita, industrialisasi, teknologi canggih, atau modernisasi sosial, tetapi pembangunan sebagai kemerdekaan politik, fasilitas ekonomi, kesempatan sosial, jaminan transparansi, dan perlindungan keamanan.
Bahkan UN-Habitat (2010) mendefinisikan “sustainable urbanization” sebagai proses untuk memajukan RTTC melalui pendekatan terpadu pro-poor terhadap pilar sosial, ekonomi, dan lingkungan berkelanjutan. Dalam konteks ini, Jokowi berhasil memberi peluang kepada sektor informal seperti PKL dan pasar tradisional dalam pembangunan ekonomi Kota Solo, sekaligus menata kembali ruang terbukanya, sehingga antara ekonomi dan ekologi seiring sejalan. Yang mengejutkan, ketika sektor informal diberi peluang dan akses, mereka malah menjadi “PahlawanPAD” yang sumbangannya melampaui sektor formal.
Pada intinya seorang pemimpin di DKI harus mampu merubah budaya dan kinerjabirokrasi sesuai dengan cita-cita dan ideologi politiknya, bukan malah sebaliknya dia yang menjadi tidak berdaya dengan sistem birokrasi yang lambat, korup, dan kaku. Sebagai penutup seperti diingatkan June Burnham (2009) dalam “Politicians, Bureaucrats, and Leadership in Organizations” bahwa pemimpin politik memiliki kapasitas untuk membuat dampak terhadap organisasi birokratik dan untuk mere-orientasi aktivitas birokratik menuju goal politik khususnya, asal dia memikili kemampuan translasi (Latour, 2005) dan berkomitmen terhadap RTTC (Lefebvre, 2005). Ya pemimpin seperti inilah yang dibutuhkan DKI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H