"Mencintai anak tidaklah cukup, yang terpenting adalah anak-anak menyadari bahwa mereka merasa dicintai orangtuanya." - St. John don Bosco.
Topik sharenting terasa menggelitik perasaan dan benak saya, karena saya juga termasuk dalam bagian aktivitas ini.
Sejak bersentuhan dengan dunia digital, baik dengan perangkat maupun platform sosial media, seringkali hal ini menggiring kita untuk membagikan moment - moment berharga bersama keluarga terutama segala aktivitas anak-anak kita.
Masa bahagia bersama anak-anak, sejak lahir dan selama tumbuh kembang mereka seolah ingin selalu diabadikan dan dikenang sepanjang hayat.Â
Seringkali daya simpan perangkat internal maupun eksternal kita terbatas. Hal ini membuat kita menyimpannya dengan cara mengunggah moment tersebut di media yang mampu menjadi alat menyimpan memori baik visual maupun rekam waktu sebuah moment berharga.
Namun, kewaspadaan pun selalu berusaha saya terapkan sehingga membagikan moment saya pilih bagian yang layak dan tidak mengganggu anak juga orang lain, atau bahkan memancing orang lain untuk bertindak negatif.
Menyoal aktivitas sharenting ini saya ingin berusaha mengulasnya dalam tulisan saya kali ini.
Sharenting Populer di Era DigitalÂ
Pada era digital, berbagi momen keseharian di media sosial menjadi aktivitas yang sulit dihindari. Salah satu fenomena yang muncul dari kebiasaan ini adalah sharenting, istilah yang menggabungkan kata share (berbagi) dan parenting (pengasuhan).Â
Praktik ini menggambarkan tindakan orang tua membagikan foto, video, atau cerita tentang anak-anak mereka di platform digital atau online. Aktivitas ini marak dan populer karena kemudahan penggunaan perangkat dan keleluasaan terbuka di media sosial.
Meski dapat menjadi cara untuk mendokumentasikan momen penting dan berbagi kebahagiaan, sharenting juga memiliki dampak jangka panjang yang tidak bisa diabaikan.Â