Sebuah kebanggaan tersendiri terlahir dan tinggal di kota Malang ini. Tak perlu jauh-jauh saya menelisik bangunan-bangunan kuno peninggalan sejarah kolonial Belanda, cukup di kota kelahiran saya yang tercinta ini.
Jalan-jalan sore menyusuri destinasi wisata Kampoeng Kajoetangan Heritage mampu membuat saya terbawa pada suasana kampung ini di masa silam. Kampung ini merupakan Kawasan kampung tua yang sudah ada sejak abad ke-13 dan sangat terjaga.
Bangunan-bangunan tua yang bernilai sejarah sisa kejayaan era kolonial masih tertata rapi dan terpelihara. Sejak Kampoeng Heritage ini booming sebagai “Kawasan Heritage Kajoetangan” banyak masyarakat, khususnya warga kota Malang mengetahui bahwa kampung ini menyimpan begitu banyak area “hidden gem” yang selama ini nyaris tak dikenal.
Memasuki Kampoeng Heritage Kajoetangan ini kita akan disuguhi spot-spot bernuansa masa kolonial. Terdapat kafe-kafe di rumah-rumah jadoel, rumah tertua (tahun 1970) yang masih sangat terjaga rapi, rumah Jengki, rumah Jamu, rumah Mbah Ndut, makam Mbah Honggo Kusumo, kuburan Tandak, langgar tua, pasar Talun, terowongan dan dan masih banyak lagi.
Terlepas dari kenyataan yang membanggakan itu, ada satu hal yang membuat saya sangat prihatin. Ketika begitu gencar pemerintah kota Malang mulai membangun kembali kejayaan Kajoetangan di masa lalu dengan mengusung konsep heritage, ada ikon bangunan kuno yang harus hilang. Ikon bangunan kembar yang jaya di masa lalu harus rela sirna dari hiruk pikuk gencarnya mengangkat Kajoetangan menjadi Kawasan heritage.
Bangunan Ikonik Gedung Kembar Rajabally
Gedung kembar di jalan Kayutangan yang terkenal dengan Rajabally ini merupakan infrastuktur yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan kaum elit Belanda pada masa kolonial Hindia Belanda.