“One child, one teacher, one pen and one book can change the world” (Malala Yousafzai)
Malala Yousafzai, seorang perempuan muda Pakistan yang yang berani melawan Taliban demi memperjuangkan pendidikan bagi perempuan ini adalah salah satu sosok idola saya. Perjuangannya di usia belia tidak dapat dikatakan remeh, bukan saja karena dia perempuan melainkan lebih dari itu, perempuan kecil ini berani menyuarakan hak perempuan melawan Taliban yang menjadikannya target untuk dimusnahkan atau dibunuh.
Kuasa Tuhan bekerja, tahun 2012 peluru Taliban yang menembus kepalanya tidak membuat gadis cantik yang waktu itu berusia 15 tahun ini mati, bahkan membuatnya pulih dan bangkit kembali memperjuangkan hak-hak pendidikan perempuan dan juga hak-hak pendidikan anak yang terlupakan, ketakutan dan tak dapat bersuara namun menginginkan perubahan.
Deretan quote Malala di atas; satu anak, satu guru, satu pena dan satu buku dapat mengubah dunia menjadi quote yang menginspirasi segala bentuk perjuangan; tidak hanya sebagai perempuan, guru atau penulis tetapi bagi setiap orang yang memperjuangkan mimpinya mengubah dunia. Tentu saja berlaku untuk diri saya sendiri yang seringkali minder karena ingin jadi penulis tetapi minus fasilitas.
Namun jika mampu melakukan satu aksi yang diiringi niat, daya juang tinggi dan ketangguhan pasti akan berbuah manis. Hal ini juga sejalan dengan ungkapan Bunda Theresa: “Vision without execution is a daydream, execution without vision is a nightmare” yang menjelaskan bahwa visi tanpa eksekusi adalah lamunan (halusinasi), eksekusi tanpa visi adalah mimpi buruk.
HARI GINI GAK PUNYA LAPTOP
Kisah seorang Malala Yousafzai sang pejuang dengan kegigihannya yang bersakit-sakit namun berbuah manis dalam uraian di atas menampar kekerdilan saya yang ciut nyali sebelum berjuang. Mimpi saya menjadi seorang penulis berhenti di tengah jalan, bahkan jalan di tempat selama 13 tahun lamanya. Mimpi yang terkubur dalam hingga sulit untuk kembali digali. Perlu perjuangan keras dalam berbagai kisah kepahitan, seperti salah satunya hingga sekarang ini; saya masih tidak punya laptop.
Masa pandemi juga memberikan pelajaran berharga yang memacu Hasrat saya kembali mencorat-coret diary dan menuangkan semua kisah dalam sebuah tulisan. Masa pandemi juga membuat saya bekerja keras untuk membuat karya tanpa fasilitas memadai. Dengan berbekal telepon seluler apa adanya saya mulai menuangkan semua yang ada dalam pikiran. Itu pun harus rela berbagi dengan si bungsu yang sedang sekolah online.
Banyak sahabat yang mendukung, tak sedikit pula yang mengolok : “hari gini gak punya laptop?”. Saya hanya tersenyum cengar-cengir, toh sampai hari ini saya mampu menulis melalui media HP dan komputer kantor. Menyerah?, tentu saja tidak, malu lah saya sama Mbak Malala yang dengan media apapun dia berjuang menyuarakan mimpi dan harapan-harapannya. Mulai dari pidato hingga menulis di blog secara intens dan menyamar.
PENULIS ITU MISKIN