Semenjak saya duduk di bangku SMP, saya mulai menyadari banyak orang di Indonesia yang terkena sindrom gila merek. Murid-murid di SMP saya tidak semuanya berstatus menengah keatas. Status ekonomi keluarga mereka bervariasi. Kala itu sedang musim baju, tas, celana, dompet dan aksesoris lainnya bermerek terkenal seperti billabong, quiksilver, roxy, dll. Teman-teman saya dengan bangganya mengenakan produk-produk yang elit itu. Hampir di sekujur tubuhnya berselimutkan merek high class itu. Mayoritas teman-teman saya membeli produk itu secara lengkap. Mungkin bolak balik ke tokonya kali yaa, hhehe. Ada yang baru beli, besoknya beli lagi dengan merek yang sama tapi dengan model yang berbeda. Sepanjang mata saya memandang, tulisan billabong, quiksilver dan roxy berseliweran di sekelebat mata saya. Mereka banyak yang berkumpul untuk berdiskusi tentang produk-produk itu. Produk high class itu tak henti-hentinya dibicarakan di kalangan teman-teman saya waktu itu. Ada juga yang menjadi member tetap outlet merek itu, sehingga ia mendapatkan katalog new product dari outlet itu. Untuk menjadi member, tentunya harus setia berlangganan di outlet tersebut dan dengan miniman pembelian yang ditentukan oleh outlet tersebut. Ada teman yang belum menggunakan produk tersebut, tetapi setelah melihat banyak anak yang memakainya, ia akhirnya tergiur juga untuk membelinya. Sungguh sindrom gila merek menginfeksi teman-teman saya kala itu. Baik anak orang kaya maupun miskin, tidak kuasa menahan nafsunya untuk berbelanja merek terkenal tersebut. Anak yang membeli produk itu, terlihat keren, gaul, dan berselera tinggi.
Gila merek banyak kita temui di sekitar kita. Budaya gila merek sudah mengental di kalangan masyarakat sat ini. Orang yang gila merek cenderung menilai barang hanya sebatas prestige sebuah merek. Seolah-olah kualiatas di nomorduakan. Mereka rela membayar mahal demi mendapatkan merek yang terkenal. Dengan membeli merek yang elit, mereka akan dipandang mewah oleh orang disekelilingnya. Orang yang gila merek dipandang kaya dan high class. Semakin terkenal merek sebuah produk, semakin mahal harga jualnya. Biasanya, orang yang gila merek terjadi karena ‘tiru-tiru’. Lingkungan sekitar yang dapat mempengaruhi orang untuk menjadi gila merek. Selain itu, merek terkenal identik dengan selebriti lokal maupun luar negeri yang memakainya. Sehingga orang yang melihatnya ingin bergaya bak selebriti favoritnya dengan memakai merek terkenal itu.
Tetapi, jika kita kaji lebih dalam, budaya gila merek banyak memberika dampak negatif daripada positifnya. Dampak utama adalah kesenjangan social. Orang yang gila merek cenderung bergaya ke orang di sekelilingnya agar dipandang wah atau biasa disebut ‘menyombongkan diri’. Hal ini bisa membuat orang yang lain iri dan bisa berpengaruh pada orang lain untuk mengikutinya. Untuk orang yang berekonomi rendah, jika ia tidak kuat menahan rasa irinya, ia akan memaksakan diri untuk ‘ikut-ikutan’. Akhirnya dengan ekonomi yang pas-pasan ia nekat untuk bergila merek. Bagaimana jika ia tidak punya uang, tetapi sangat ingin membelinya? Tidak jarang banyak kita temui orang yang berbuat nekat seperti mengutang hingga tak mampu melunasinya, bahkan ada yang mengarah ke tindakan criminal seperti mencuri, merampok, dsb.
Apa untungnya bergila merek? Misalnya, ketika kita membeli kaos billabong dengan harga Rp300.000,-, kita hanya mendapat 1 kaos saja, namun bila kita membeli kaos yang seharga 100ribuan, tentu kita akan mendapatkan 3 potong kaos. Apalagi sekarang banyak pakaian-pakaian yang berkualitas bagus dengan harga minim. Menurut saya, produk merek terkenal yang mahal itu adalah mereknya. Jadi, cobalah cermat dalam membeli produk dan jangan terpengaruh dengan lingkungan sekitar yang gila merek. Hilangkan budaya gila merek, karena budaya itu hanya menimbulkan kecemburuan sosial dan membuang-buang uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H