Kepulauan Natuna, sebuah gugusan pulau di perairan utara Indonesia, telah menjadi panggung utama konflik geopolitik. Lokasinya yang strategis di Laut Natuna Utara menjadikannya pusat persinggungan antara klaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982 dan klaim Nine-Dash Line oleh China. Situasi ini memperlihatkan lemahnya penegakan hukum internasional dan mengundang pertanyaan: apakah diplomasi Indonesia cukup kuat atau sekadar menjadi penonton di tengah percaturan kekuatan global?
Menurut UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea), Indonesia memiliki hak eksklusif atas sumber daya alam di wilayah ZEE sejauh 200 mil laut dari garis pangkalnya. Namun, klaim Nine-Dash Line oleh China, yang mencakup sebagian Laut Natuna Utara, secara terang-terangan bertentangan dengan putusan Pengadilan Arbitrase Internasional tahun 2016 yang membatalkan dasar historis klaim tersebut. Kehadiran kapal-kapal patroli dan nelayan China di wilayah ini jelas melanggar Pasal 56 dan 57 UNCLOS tentang hak berdaulat negara pantai.
Peran Diplomasi Indonesia: Tantangan di Panggung Internasional
Diplomasi Indonesia dalam menyikapi sengketa Laut Natuna Utara berada pada persimpangan tajam antara menjaga martabat kedaulatan dan mengelola kompleksitas hubungan bilateral, terutama dengan China, yang merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Sebagai negara yang aktif dalam ASEAN dan pengusung prinsip bebas-aktif, Indonesia memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menegakkan aturan internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang telah menetapkan perairan Natuna sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Namun, hingga kini, diplomasi Indonesia tampak masih berhenti pada langkah-langkah simbolis. Pernyataan tegas yang dikeluarkan pejabat tinggi negara terkait klaim sepihak China kerap tidak diikuti oleh langkah konkret di arena diplomasi global. Indonesia belum cukup memanfaatkan platform internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau mekanisme arbitrase internasional, untuk memperkuat posisi hukumnya secara formal.
Selain itu, keberadaan kapal-kapal patroli Tiongkok di wilayah ZEE Indonesia yang tidak direspons dengan tindakan diplomatik yang lebih agresif menjadi preseden buruk. Alih-alih menginisiasi koalisi regional melalui ASEAN untuk menekan China secara kolektif, Indonesia lebih sering memilih jalur dialog bilateral yang cenderung kompromistis. Pendekatan ini mempertaruhkan kredibilitas Indonesia di mata dunia sebagai penjaga stabilitas kawasan.
Kelemahan diplomasi Indonesia dapat terlihat pada pola komunikasi yang lebih defensif daripada proaktif. Padahal, upaya diplomasi yang cerdas dan strategis dapat dilakukan, seperti membangun narasi global tentang pentingnya supremasi hukum internasional di Laut China Selatan. Hal ini bisa diperkuat dengan melibatkan negara-negara lain yang juga memiliki sengketa maritim dengan China untuk bersama-sama mendesak penegakan UNCLOS.
Keengganan pemerintah untuk membawa isu ini ke Mahkamah Internasional atau Pengadilan Arbitrase Internasional juga patut dipertanyakan. Alasan bahwa langkah ini dapat memperburuk hubungan bilateral dengan China seharusnya tidak menjadi penghalang jika menyangkut kepentingan kedaulatan negara.
Tantangan Geopolitik: Natuna dalam Pusaran Kepentingan Global
Laut Natuna Utara tak hanya sekadar bentangan perairan strategis di peta dunia, melainkan simpul vital dalam dinamika geopolitik kawasan Asia-Pasifik. Letaknya yang berada di jalur perdagangan internasional menjadikannya salah satu wilayah paling diperebutkan di tengah rivalitas kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan China. Kawasan ini juga berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, yang dikenal sebagai arena sengketa maritim paling intens di dunia, melibatkan klaim-klaim agresif dari Beijing yang mengabaikan hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982.
Posisi Strategis dan Relevansi Global
Natuna memiliki makna geopolitik yang signifikan karena menjadi titik persinggungan antara kepentingan keamanan, ekonomi, dan politik. China, dengan doktrin Nine-Dash Line-nya, terus berusaha memasukkan Natuna ke dalam klaim historis yang tidak diakui dunia internasional. Di sisi lain, AS, melalui kebijakan Freedom of Navigation Operations (FONOPs), kerap mengirimkan kapal perang untuk menantang klaim-klaim ini, sehingga meningkatkan eskalasi ketegangan.
Indonesia, meskipun secara hukum tidak terlibat langsung dalam sengketa Laut China Selatan, kerap menjadi sasaran dari upaya ekspansionis China, termasuk melalui pelanggaran perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Natuna. Ketegangan ini menjadi tantangan berat bagi diplomasi Indonesia yang harus menyeimbangkan hubungan baik dengan China tanpa mengorbankan kedaulatan teritorialnya.
Dilema Strategis dalam Rivalitas Global
Ketegangan geopolitik ini memposisikan Indonesia dalam dilema strategis. Di satu sisi, Indonesia harus memastikan kedaulatan wilayahnya terjaga, termasuk melindungi potensi sumber daya alam yang melimpah di perairan Natuna. Di sisi lain, hubungan ekonomi yang erat dengan China membuat pendekatan konfrontasional menjadi pilihan yang mahal. Kegagalan diplomasi untuk merespons dinamika ini dapat menciptakan preseden negatif, memperlemah posisi Indonesia di arena internasional, sekaligus memicu pelanggaran berulang dari kekuatan eksternal.