Kepulauan Riau (Kepri), merupakan salah satu wilayah strategis di Indonesia yang dikenal sebagai beranda terdepan negara. Dengan posisi geografisnya yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan Laut China Selatan, Kepri kerap menjadi pusat perhatian geopolitik dunia. Namun, di balik potensi besar itu, suara laut Kepri justru menjerit di tengah janji-janji pemerintah yang seolah hanya retorika. Pencemaran minyak hitam yang terus berulang dan lemahnya pengelolaan lingkungan menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari mimpi menjadi poros maritim dunia.
Sejak puluhan tahun, perairan Kepri, khususnya Bintan, berulang kali tercemar oleh tumpahan minyak hitam. Pencemaran ini menghancurkan ekosistem laut, merugikan nelayan, dan mencoreng reputasi Indonesia di mata dunia sebagai negara maritim. Sampai saat ini, pemerintah tampaknya hanya melakukan penanganan sesaat tanpa solusi jangka panjang. Misalnya, tim penanggulangan yang dibentuk berdasarkan SK Gubernur Nomor 742 Tahun 2018 hingga kini dinilai tidak efektif. Parid Ridwanuddin dari WALHI bahkan menyebutkan bahwa penanganan yang dilakukan menunjukkan "kesan pembiaran".
Lebih ironis lagi, isu ini terjadi di tengah janji pemerintah, sejak masa kampanye 2014, untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Nyatanya, kasus pencemaran laut di Kepri menjadi simbol lemahnya realisasi komitmen tersebut. Janji Presiden Jokowi untuk menjaga laut sehat belum mampu mengatasi akar masalah, seperti pembuangan limbah lintas negara atau lemahnya regulasi penegakan hukum di wilayah perairan.
Pencemaran minyak hitam di perairan Kepulauan Riau tidak hanya merusak ekosistem laut tetapi juga secara langsung melanggar berbagai ketentuan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). UNCLOS merupakan kerangka hukum internasional yang mengatur hak dan kewajiban negara dalam mengelola laut dan sumber daya maritim. Pelanggaran yang dimaksud seperti kewajiban perlindungan lingkungan laut (Pasal 192 dan 194) serta tanggung jawab negara bendera dan negara pantai (Pasal 217 dan 56). Perairan strategis ini, yang menjadi pintu gerbang Selat Malaka dan Laut China Selatan, justru menjadi korban lemahnya penegakan hukum internasional dan domestik. Indonesia, sebagai negara pantai, gagal menjaga Zona Ekonomi Eksklusifnya (ZEE) dari pembuangan limbah kapal asing, sementara negara-negara pelaku pencemaran mengabaikan tanggung jawab mereka untuk mencegah dan mengatasi tumpahan minyak. Masalah ini tidak hanya mencerminkan kelalaian dalam implementasi hukum laut internasional tetapi juga memperlihatkan kontras yang tajam antara retorika "poros maritim dunia" dan realitas lautan yang terabaikan.
Minimnya penegakan hukum internasional dalam isu pencemaran laut di Kepulauan Riau mencerminkan tantangan klasik yang terus membayangi implementasi UNCLOS. Meski secara legal, Pasal 217 dan Pasal 218 UNCLOS dengan tegas mewajibkan negara-negara bendera untuk memastikan kepatuhan kapal terhadap aturan pencemaran dan memberikan yurisdiksi kepada negara pelabuhan untuk menindak kapal yang melanggar, kenyataan di lapangan menunjukkan celah yang signifikan. Tidak adanya sistem penegakan lintas negara yang efektif memungkinkan pelaku pencemaran, khususnya kapal asing, lolos dari tanggung jawab. Selain itu, kurangnya kemampuan teknologi dan pengawasan di Indonesia memperburuk situasi, membuat laut menjadi "zona abu-abu" yang rentan dieksploitasi. Ironisnya, kelemahan ini terus berulang di wilayah yang vital secara geopolitik dan ekonomi, seolah-olah hukum laut internasional hanyalah serangkaian pasal tanpa gigi yang tidak lebih dari retorika di tengah gelombang eksploitasi laut. Apabila langkah tegas tidak segera diambil, pencemaran ini hanya akan semakin mencoreng kredibilitas Indonesia sebagai negara maritim dan memperburuk kerusakan ekologis yang sulit dipulihkan.
Ketidakseriusan pemerintah daerah dan pusat dalam menangani pencemaran laut di Kepulauan Riau merupakan cerminan dari absennya prioritas pada isu lingkungan dalam kebijakan maritim nasional. Meski pencemaran minyak hitam di Bintan telah menjadi masalah berulang selama bertahun-tahun, upaya mitigasi masih terhambat oleh alokasi anggaran yang minim dan kurangnya pelatihan yang memadai bagi pihak berwenang. Pemerintah tampak enggan berinvestasi dalam teknologi modern, seperti sistem pemantauan berbasis satelit atau drone laut, yang sejatinya mampu mendeteksi sumber pencemaran secara akurat dan cepat. Sebaliknya, pendekatan yang digunakan masih bersifat manual dan reaktif, hanya menangani kerusakan setelah terjadi tanpa ada langkah preventif yang signifikan. Ketidakmampuan ini bukan hanya memperlihatkan kelemahan institusional, tetapi juga mengindikasikan kurangnya visi strategis untuk memanfaatkan teknologi demi menjaga kelestarian laut. Dengan segala potensi strategis yang dimiliki Kepri, absennya tindakan nyata dari pemerintah menjadi ironi yang memperburuk kepercayaan masyarakat dan melemahkan posisi Indonesia sebagai negara poros maritim dunia.
Paradigma ekonomi yang diterapkan di Kepulauan Riau mencerminkan sebuah ironi besar: pembangunan yang bertumpu pada investasi industri dan pelayaran justru sering kali mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Fokus utama pemerintah tampaknya adalah memaksimalkan nilai ekonomi dari lokasi strategis Kepri, terutama sebagai jalur pelayaran internasional dan kawasan industri. Namun, pendekatan ini dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat lokal. Limbah minyak hitam yang terus mencemari perairan Kepri adalah salah satu bukti nyata bagaimana pendekatan ini mengorbankan lingkungan demi keuntungan jangka pendek.
Kritik terhadap paradigma ini bukan berarti menolak pembangunan, melainkan menuntut model pembangunan yang lebih berimbang dan berorientasi pada keberlanjutan. Pemerintah harus menyadari bahwa ekosistem laut bukan hanya aset ekologis, tetapi juga modal ekonomi jangka panjang yang dapat menopang sektor pariwisata, perikanan, dan kehidupan masyarakat pesisir. Langkah-langkah strategis, seperti pengaturan ketat terhadap industri pelayaran, investasi dalam teknologi hijau, dan penerapan standar lingkungan internasional, harus menjadi prioritas. Dengan mengintegrasikan pelestarian lingkungan ke dalam strategi pembangunan, Kepri dapat menjadi model nyata dari sebuah kawasan yang memadukan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan secara harmonis.
Laut Kepulauan Riau adalah penopang kehidupan sekaligus saksi bisu atas ambisi besar yang belum terwujud. Dalam menghadapi tantangan pencemaran dan eksploitasi, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa langkah sporadis dan pendekatan pragmatis tidak lagi memadai. Pembangunan yang hanya berorientasi pada keuntungan material, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekologis, adalah jalan pintas menuju kehancuran sumber daya yang tak tergantikan.
Untuk menjawab jeritan laut Kepri, pendekatan holistik harus diutamakan---di mana pelestarian lingkungan menjadi pilar utama pembangunan. Strategi yang mengintegrasikan penegakan hukum laut internasional, teknologi modern, serta pemberdayaan masyarakat lokal akan menjadi solusi efektif. Dalam konteks ini, pemerintah harus lebih dari sekadar pengawas; mereka harus menjadi pemimpin visioner yang berani berinvestasi dalam keberlanjutan. Hanya dengan visi jangka panjang dan tindakan nyata, mimpi Indonesia sebagai poros maritim dunia dapat melampaui retorika dan menjadi warisan nyata bagi generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H