Di sebuah desa yang sunyi, hiduplah seorang pria bernama Jaya. Ia dikenal sebagai pribadi yang tenang, seolah tiada gelombang di hatinya. Orang-orang sering heran, bagaimana mungkin ia tetap tenang meski badai kehidupan datang silih berganti?
Jaya selalu berkata, "Akulah air." Ungkapan itu menjadi jawaban atas segala pertanyaan tentang ketenangannya. Namun, tidak banyak yang mengerti maksudnya.
Hidup Jaya penuh dengan cobaan. Pernah suatu ketika, ladang yang ia garap habis disapu banjir bandang. Tanaman yang ia rawat dengan penuh kasih sayang hanyut terbawa arus deras. Sementara itu, banyak orang di desa berlarian cemas, saling menyalahkan keadaan, tetapi Jaya tetap berdiri dengan tenang, wajahnya teduh tanpa amarah.
"Kenapa kau tidak marah atau putus asa, Jaya?" tanya seorang tetangga yang bingung melihat reaksinya.
Jaya tersenyum kecil dan menjawab, "Air bisa menjadi tenang, bisa pula menjadi deras. Tapi apa pun yang terjadi, ia selalu menemukan jalan. Aku seperti air itu. Aku tenang bukan karena tak ada masalah, tapi karena aku memilih untuk mengalir mengikuti arusnya."
Cobaan demi cobaan datang dalam hidup Jaya. Kadang ia kehilangan pekerjaan, kadang pula orang yang ia cintai meninggalkannya. Setiap kali masalah menghampiri, ia kembali mengingatkan dirinya, "Akulah air." Ia mengalir melewati kesulitan, membiarkan dirinya mencari celah, menemukan jalan, hingga akhirnya kembali pada ketenangan.
Orang-orang mulai mengerti bahwa ketenangan Jaya bukanlah tanda kelemahan atau ketidakpedulian. Ia belajar dari air yang tak melawan arus, namun justru mengalir mengikuti jalannya, mengikis batu-batu keras secara perlahan hingga terbentuk jalan yang lebih lapang.
Suatu hari, ketika desa dilanda kekeringan, Jaya menjadi pemimpin yang tetap tabah dan mencari solusi untuk warganya. "Air tidak selalu ada di permukaan," katanya kepada warga. "Kadang ia tersembunyi di dalam tanah, menunggu kita untuk mencarinya lebih dalam."
Kata-kata Jaya memberi kekuatan bagi penduduk desa. Mereka menggali sumur bersama-sama dan akhirnya menemukan mata air yang menyegarkan seluruh desa. Pada saat itu, orang-orang baru menyadari makna dari perkataan Jaya, "Akulah air." Bahwa ketenangan sejati adalah ketika kita mampu menghadapi cobaan hidup dengan hati yang lapang, mengalir mengikuti takdir, sambil tetap berusaha untuk menemukan jalan keluar.
Jaya mengajarkan mereka bahwa seperti air, ketenangan bukanlah tanda menyerah, melainkan bentuk kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan. Meski arus kuat menghadang, ia tetap mengalir. Meski terhalang batu, ia tetap mencari jalan.
Karena pada akhirnya, akulah air yang terus mengalir, tak pernah berhenti mencari celah untuk melewati rintangan, dan selalu kembali pada ketenangan sejatinya.