Pendahuluan
Mungkin terdengar menjijikkan bagi sebagian besar orang, namun kebiasaan mengonsumsi serangga atau yang dikenal sebagai entomofagi telah menjadi bagian dari diet sehari-hari bagi jutaan orang di berbagai belahan dunia. Praktik ini bukan sekadar cara bertahan hidup di masa kelangkaan pangan, tetapi juga merupakan pilihan gaya hidup yang semakin populer karena beragam manfaatnya bagi kesehatan dan lingkungan.
Entomofagi/insektivori : Sejarah dan Budaya
Konsumsi serangga telah dilakukan oleh manusia sejak zaman prasejarah. Di banyak budaya, serangga dianggap sebagai makanan lezat dan sumber protein yang baik. Beberapa contohnya adalah belalang goreng di Thailand, ulat sagu di Papua Nugini, dan semut rangrang di Meksiko. Meskipun demikian, di beberapa negara Barat, entomofagi masih dianggap tabu dan belum diterima secara luas.
Tradisi mengonsumsi serangga ternyata sudah berlangsung sangat lama, bahkan sejak ribuan tahun lalu. Catatan sejarah menunjukkan bahwa bangsa Romawi dan Yunani kuno telah menikmati serangga sebagai bagian dari diet mereka, seperti larva kumbang yang dimasak dengan tepung dan anggur. Profesor Gene DeFoliart juga mencatat bahwa kebiasaan makan serangga sebagai sarana bertahan hidup telah ada sejak sepuluh ribu tahun lalu. Di Bali, warisan kuliner ini masih terjaga dengan adanya hidangan capung yang sudah dikupas sayapnya, kemudian direbus dalam santan yang kaya akan rempah seperti jahe dan bawang putih. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan mengonsumsi serangga bukan hanya sekedar bagian dari masa lalu, tetapi juga masih relevan hingga kini dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan kuliner di berbagai belahan dunia.
Sejarah mencatat bahwa konsumsi serangga bukan hanya sekadar upaya bertahan hidup, tetapi juga pernah dianggap sebagai suatu kemewahan. Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang hidup ribuan tahun lalu, telah mencatat bahwa jangkrik pernah menjadi makanan mewah. Bahkan di masa yang lebih modern, seperti pada pertengahan abad ke-19, suku Mormon di Nevada menjadikan perburuan jangkrik sebagai tradisi musiman untuk mendapatkan sumber protein yang berharga. Praktik serupa juga ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti Ghana dan Afrika Selatan, di mana rayap menjadi sumber makanan yang dihargai, terutama saat musim-musim tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan manusia terhadap serangga sebagai makanan telah berubah seiring waktu, dari dianggap sebagai makanan mewah hingga menjadi sumber pangan alternatif yang semakin populer di masa kini.
Di Cina, misalnya, para peternak lebah seringkali mengonsumsi larva lebah sebagai bagian dari rutinitas mereka. Praktik ini bahkan sampai memunculkan persepsi bahwa peternak lebah identik dengan konsumsi larva lebah. Sementara itu, di Jepang, larva lalat air telah menjadi hidangan yang cukup populer di kalangan pecinta kuliner. Larva ini biasanya diolah dengan cara ditumis bersama gula dan kecap, menciptakan perpaduan rasa yang unik dan menarik. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa serangga, yang sering dianggap menjijikkan oleh sebagian besar masyarakat Barat, ternyata telah menjadi bagian penting dari budaya kuliner di banyak negara Asia.
Manfaat Entomofagi
- Sumber protein yang baik: Serangga mengandung protein tinggi, setara atau bahkan lebih tinggi daripada daging sapi.
- Kaya nutrisi: Selain protein, serangga juga kaya akan vitamin, mineral, dan lemak sehat.
- Berkelanjutan: Budidaya serangga membutuhkan lahan dan air yang jauh lebih sedikit dibandingkan ternak konvensional, sehingga lebih ramah lingkungan.
- Efisien: Serangga memiliki tingkat konversi pakan menjadi protein yang jauh lebih tinggi dibandingkan hewan ternak lainnya.
Tantangan dan Persepsi
Salah satu tantangan utama dalam mempromosikan entomofagi adalah mengatasi stigma negatif yang melekat pada serangga. Banyak orang merasa jijik atau takut untuk mencoba makanan ini. Selain itu, regulasi yang belum memadai di beberapa negara juga menjadi kendala dalam pengembangan industri makanan berbasis serangga.