Di bawah langit senja yang mulai meredup, bayangan seorang pemuda menghilang di balik pintu ATM. Biya, begitulah namanya, seorang anak muda penuh semangat yang bekerja di sebuah perusahaan leasing. Tugasnya hari itu sederhana, namun berujung pada malapetaka. Uang setoran senilai delapan juta rupiah, uang yang cukup besar bagi keluarganya, raib begitu saja. Hatinya tercabik, rasa bersalah menyelimuti jiwanya.
Keesokan harinya, Biya duduk termenung di sudut kamar. Rasa bersalahnya semakin mendalam. Ia memikirkan nasib orang tuanya yang harus menanggung beban utang karena kesalahannya. Biya berjanji pada dirinya sendiri, ia akan bekerja lebih keras lagi untuk melunasi utang itu dan mengembalikan kepercayaan orang tuanya. Namun, di balik tekadnya, ada rasa takut yang menghantui. Bagaimana jika ia tak mampu? Bagaimana jika ia menjadi beban bagi keluarganya?
Berita kehilangan uang itu cepat menyebar, mencapai telinga orang tuanya. Ibu Biya dengan wajah pucat pasi, berusaha menenangkan hatinya yang kalut. Ayahnya, dengan tatapan sayu, mencoba mencari solusi. Segala aset yang mereka miliki, hasil jerih payah seumur hidup, kini terancam harus dijaminkan. Delapan juta rupiah, angka yang begitu besar, terasa seperti jurang yang dalam bagi keluarga sederhana mereka. Malam itu, rumah yang biasanya riuh dengan tawa, kini sunyi senyap, hanya butiran air mata yang menetes tak terbendung dari  seorang ibu yang tak kuasa menahan kesedihan. Namun dalam segala kepasrahan ia meyakinkan diri bahwa setiap episode kehidupan  yang terjadi tak terlepas dari kuasa Sang Pencita, Pemilik dan Pengatur hidup hamba-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H