Masa remaja, laksana ombak yang menerjang karang, menghempas Biya ke dalam pusaran dunia yang baru. Rumah pamannya, dengan aroma game net yang khas, menjadi surganya. Di sana, waktu seakan berhenti, terjebak dalam layar monitor yang menyala terang. Sekolah, bagai kewajiban yang membosankan, seringkali terlupakan. Hingga suatu hari, tepat di hari Jum'at, pulang salat dari masjid dia bermaksud untuk membawa sepatu futsal ke rumahnya yang berjarak hanya 1 kilometer dari rumah pamannya. Hasrat bermain futsal membawanya meminjam motor teman. Di tengah euforia kebebasan yang semu, ia terjerat dalam pusaran hipnotis. Motor lenyap, meninggalkan bekas luka mendalam di hati orang tuanya. Cicilan menggantung, menjadi bayang-bayang yang tak kunjung sirna. Kehilangan bukan hanya materi, namun juga kepercayaan yang retak.
Bintang-bintang di langit malam seolah ikut meratapi nasibnya. Dulu, ia pernah menatapnya dengan penuh harap, berharap masa depan cerah menanti. Kini, bintang-bintang itu bagai saksi bisu atas kesalahan yang telah ia perbuat. Biya terpuruk dalam penyesalan. Rumah pamannya yang dulu terasa nyaman, kini terasa asing dan mencekik. Bau game net yang dulu membuatnya nyaman, kini menjadi bau yang menyengat, mengingatkannya pada kegagalan.
Hidup adalah sebuah pelajaran, dan Biya telah belajar dengan cara yang pahit. Kehilangan motor bukan hanya kehilangan benda mati, namun juga kepercayaan orang tuanya. Ia harus memulai semuanya dari awal, membangun kembali kepercayaan yang telah hancur. Jalan masih panjang, namun Biya yakin, dengan pertolongan dan dukungan orang-orang yang menyayanginya, ia akan mampu bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H