Mohon tunggu...
Yuyun Firdausi
Yuyun Firdausi Mohon Tunggu... -

Let's get a life :-)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Sedikit Coretan tentang Pilkada dan Etnologi

19 April 2017   12:36 Diperbarui: 19 April 2017   22:28 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Etnis adalah bentuk identitas manusia. Identitas kebudayaan. Setiap satuan budaya, membangun satuan kehidupannya masing-masing, tanpa ada keharusan untuk saling menyerang, menghancurkan, atau meniadakan. Kerjasama, saling memberi dan menerima, seharusnya didasari nilai kebijaksanaan yang utuh tanpa harus meniadakan bagian yang lain. 

Nusantara. Sebuah kawasan, dan tatanan hidup, yang khasanah, ilmu, dan warisannya kita kenal antara timbul dan tenggelam di antara masa kini dan masa lalu. Ada, tapi tidak ada-ada banget. 

Sebagai sebuah kawasan tropis yang subur, keadaan tersebut telah otomatis menciptakan manusia-manusia Nusantara menjadi manusia yang peradaban, ilmu, dan kebudayaannya menyelaraskan kekayaan sumber alamnya pula. Sejarah dan perkamen-perkamen telah merekam semuanya, pencapaian budaya manusia Nusantara. Bahkan DNA warisan tersebut masih tergambar hingga sekarang, baik dari alam pikiran penduduknya, maupun dari warisan-warisan fisik yang masih terawat. Pada intinya, sebuah khasanah Negara, budaya, dan kemasyarakatan yang kita kenal dengan Nusantara ini pada sendirinya telah pernah memiliki sebuah sistem peradaban, apapun bentuknya itu, yang selaras dan mencerminkan kelimpahan alamnya. Satu dalam menejemen.

Permasalahan etnis, dan "perbedaan".

Perwujudan etnis adalah menggambarkan identitas budaya seorang/sekelompok orang. Yang mana pada prakteknya sekelompok orang dengan satu budaya yang sama, akan secara otomatis membentuk satu kesatuan sistem, dan tempat tinggal untuk menjalani hidup. Perbedaan etnis, identitas, budaya, tempat tinggal, asal muasal, sudah pasti menelurkan perbedaan cara, sistem, tujuan, pandangan, tata cara kelola hidup. Hal itu sudah pasti dan tidak perlu diperbantahkan, diperdebatkan, ataupun didramatisasi karena semua harus sama. Bukanlah hal yang perlu dipaksakan. Yang perlu kita lakukan adalah "menghormati", dan "menghargai", selama perbedaan tersebut diletakkan dalam koridor saling menghormati sesama manusia / ciptaan. Karena itu, jika dalam perjalanannya, etnis-etnis yang berbeda tersebut harus berinteraksi, baik dalam konsep kenegaraan maupun persahabatan, baik dalam hubungan yang sifatnya "mutualisme", maupun yang bersifat "membantu", sudah seharusnya hubungan tersebut tetap menghormati koridor masing-masing ciptaan tadi, dan jangan sampai karena ketidakpaham akan Rumah masing-masing membuat kita menjadi tidak memiliki tatanan lagi.

Permasalahan tata negara; yang sampai saat ini orang masih hiruk mencoba mencari bagaimana seharusnya bentuknya.

Sesungguhnya, mengelola Negara, mengelola manusia dan alam sebagai wadahnya, mau tidak mau harus memperhatikan kondisi atau sifat manusia dan alam yang akan dikelola tersebut. Sebagai yang telah lebih dulu bernegara dibanding kita, pendahulu kita telah menciptakan sistem kenegaraan pula, yang mereka gunakan untuk mengatur kelola alam dan manusia, yang didasarkan pada identitas/budaya orisinil manusia, dan alam Nusantara waktu itu. Segalanya memperhatikan aspek identitas dan orisinalitas ciptaan.

Saat ini, bentuk Negara dan sistem yang kita usung, jika dibandingkan dengan apa yang diusung pendahulu kita, mengedepankan aspek-aspek yang lebih "dangkal" dari pengelolaan manusia dan alam sebagai pendampingnya. Sistem Negara yang seperti ini, yang entah kita usung idenya dari mana, ataukah mungkin biar sama saja dengan yang lain-lain, hampir tidak bisa menjamah kekayaan alam nusantara, baik kekayaan etnis maupun alamnya. Sayangnya, sistem yang kita sangat ributkan dan menguras energi itu hanya menghargai anda dan rumah anda tidak lebih dari sekedar obyek. Bahkan, jika kita mencoba berbudaya sebagai manusia, akan dicap tidak nasionalis, dsb. Kebiasaan dan budaya bahwa kita harus "sama" sebagai obyek telah mengakar dalam setiap dasar pemikiran kita. 

Bagaimana? Masih mau menjadi "Kambing" yang bahkan namanya hanya berupa Nomor-Nomor, atau mau menjadi Manusia sesungguhnya ciptaan Tuhan? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun