Di Jazirah Arab sebelum datangnya Islam, perempuan diperlakukan dengan tidak manusiawi. Masyarakat Arab memandang wanita sebagai manusia yang berkedudukan rendah. Bahkan pada masa jahiliyah tersebut, bayi yang lahir berjenis kelamin perempuan akan dikubur hidup-hidup karena menurut mereka kelahiran bayi perempuan sebagai bentuk bencana dan pembawa sumber penyakit.
Apabila dibiarkan hidup, mereka hidup dalam kehinaan dan tanpa kemulian. Setelah dewasa, perempuan ini dilecehkan dan dijadikan sebagai alat pemuas nafsu para lelaki bejat. Perempuan dijadikan budak dan pelayan yang ketika telah puas dilecehkan segera dibuang dan tidak ada harga dirinya.[1]
Hal yang mengejutkan adalah bahwa di Indonesiapun ada kasus mengenai peristiwa ini. Perempuan Indonesia pernah diperlakukan sama. Tepatnya pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Perempuan dipaksa untuk melayani kebutuhan seksual para perwira militer dan sipil Jepang. Selama pendudukannya di Indonesia, Jepang mengadopsi beberapa sistem untuk menggerakkan masyarakat Indonesia, salah satunya adalah "Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang", yang merupakan mekanisme kekerasan perempuan sebagai sarana eksploitasi seksual untuk para tentara Jepang  diseluruh wilayah pendudukan Jepang di Indonesia. Kekaisaran Jepang menyebut perempuan-perempuan dalam sistem ini dengan Jugun Ianfu.
Dalam sistem Jugun Ianfu, ada kebijakan dalam mengatur hiburan di militer, yang juga dikendalikan oleh Pusat Komando Tentara, Kekaisaran Jepang pun mengetahui hal tersebut. Hiburan seksual juga diatur secara terpusat, terutama jika tentaranya sudah berada di barak dan membutuhkan wanita untuk hiburan.[2]
Para perempuan yang dipaksa untuk melayani perwira sipil dan militer Jepang ini ditempatkan di lanjo, barak-barak militer, ada pula jugun ianfu yang ditempatkan di rumah pejabat atau bahkan di rumah sendiri. Dimana tempat mereka menjalani kehidupan sebagai Jugun Ianfu, maka hal ini sangat mempengaruhi pula pada pola komunikasi yang mereka lakukan terhadap masyarakat.
Penarikan jugun ianfu dilakukan dengan tiga golongan, pertama memang sukarela dari wanita yang sebelumnya merupakan PTS. Kedua, dilakukan dengan paksaan penculikan dan kekerasan. Ketiga, para gadis desa dibohongi oleh para agen dengan dijanjikan mendapatkan gaji besar. Namun hampir semua penarikan jugun ianfu dilakukan dengan sistem tipu daya, paksaan hingga kekerasan.[3]
Beberapa perempuan diserahkan begitu saja kepada agen oleh orangtuanya karena tertipu bujuk rayu Jepang. Beberapa perempuan yang tinggal di lanjo diperoleh dengan cara penculikan. Begitu tentara Jepang menemukan para perempuan itu, mereka dibawa pergi secara paksa dan dimasukan ke lanjo. Â Bahkan ada perempuan diperkosa di depan orangtua mereka. Setelah diperkosa, kemudian dibawa ke dalam mobil dan dijebloskan ke lanjo. Berbagai bentuk penyiksaan berupa tamparan, tendangan, pukulan dengan brutal merupakan santapan sehari-hari bagi para perempuan penghibur Jugun Ianfu. Jika menolak untuk melayani dan menuruti hasrat seksual para tentara, mereka disiksa dengan sangat kejam. Di lanjo, ada orang disiksa bahkan hingga meninggal.[4]
Di Jawa Barat, sejarah Jugun Ianfu merupakan salah satu peristiwa sejarah yang penting untuk di cari keberadaanya, Jugun Ianfu menunjukan bagaimana sejarah kelam perlakuan penjajah Jepang terhadap perempuan. Bertahun-tahun mereka hidup dalam belenggu Ianjo, setiap hari tugas mereka melayani kebutuhan biologis tentara Jepang. Di Cimahi, lanjo-lanjo itu berada di jalan Simpang dan jalan Kalidam.
Banyak korban tersebar di Jawa Barat antara lain Cimahi, Sukabumi, Bogor, dan Sumedang. Berdasarkan kesaksian para korban Jugun Ianfu, diketahui bahwa mereka sering menjadi sasaran kekerasan seksual yang dilakukan oleh Tentara Jepang maupun para Perwiranya. Kekerasan dilakukan oleh Jepang dimulai saat proses perekrutan para calon korban hingga perlakuan kasar saat melayani para tentara Jepang.
Perkosaan, perdagangan seks, eksploitasi sosial, penyiksaan seksual bahkan perbudakan seksual yang dilakukan oleh militer Jepang di Indonesia, termasuk Jawa Barat, menyebabkan kerugian fisik dan mental bagi mereka yang mengalaminya. Kisah Jugun Ianfu pada masa pendudukan Jepang khususnya di Jawa Barat dan Indonesia pada umumnya jarang muncul dalam wacana publik atau catatan sejarah nasional seperti halnya dalam kasus peristiwa Romusha.
Fakta bahwa sejarah perbudakan seksual oleh tentara Jepang tak lebih dari rahasia para wanita penghibur sepertinya diabaikan begitu saja. Penderitaan yang diterima korban Jugun Ianfu yaitu berupa kerusakan fisik permanen pada organ reproduksinya akibat kekerasan seksual, trauma psikologis jangka panjang, dan yang paling disesalkan, sanksi sosial dicap sebagai mantan perempuan Jepang dan pelacur. Yang mana pada kenyataanya hidup seperti itu bukan atas kemauan atau pilihan mereka sendiri. Â