Riwayat hidup Sartono Kartodirjo
Sartono Kartodirjo lahir di Wonogiri pada 15 Februari 1921. Sartono Kartodirjo lahir dari pasangan Sutiya dan Tjitrosarojo. Pada tahun 1927 ketika berusia enam tahun, Sartono mulai memasuki pendidikan formal di HIS Wonogiri. Saat duduk dikelas VI pada 1932, Sartono pindah dari Wonogiri ke Surakarta. Studinya terus berlanjut hingga pada 1935 Sartono melanjutkan ke MULO. Namun karena nilai yang diperoleh dalam pelajaran bahasa asingnya kurang, maka Sartono pindah ke HIK pada tahun 1936.
Karir Sartono Kartodirjo dimulai dengan menjadi guru di Schakel School yaitu sebuah sekolah peralihan di daerah Muntilan. Sartono Kartodirjo menamatkan sekolah Guru Xaverius pad tahun 1941 di Muntilan Jawa Tengah. Tidak sampai disitu, beliau terus meneruskan karirnya dengan menjadi guru HIS Swasta di Salatiga dengan status disamakan.
Pada bulan September 1942, Sartono Kartodirjo ditinggal wafat ayahnya karna sakit. Sartono Kartodirjo menikah pada tahun 1948 dengan seorang perempuan yang dicintainya yang bernama Sri Kadaryanti. Hasil dari pernikahan tersebut, lahirlah anak pertama yang bernama Nimpomo pada tahun 1949.
Selang empat tahun kemudian, tepatnya tahun 1953 lahirlah anak kedua yang bernama Roswitha. Saat kelahiran anak pertama, Sartono bekerja  sebagai pengajar di SMP Van Lith dan kuliah di UI jurusan Sejarah. Selain ngajar dan kuliah, Sartono juga aktivis diberbagai organisasi. Saat anak kedua lahir tahun 1953, Sartono pindah mengajar di SMA Santa Ursula.
Pada tahun 1952-1954, beliau sudah menjadi Redaktur utama dan sekretaris pada majalah Persatuan Guru Katolik. Di masa inilah Sartono terus mengasah kemampuan menulisnya. Sartono menyelesaikan studinya pada 1956, setelah mendapat gelar sarjana beliaupun mendapat tawaran bekerja di kantor Perdana Mentri, namun beliau lebih memilih menjadi Dosen di Universitas Gadjah Mada.
Sartono mendapat beasiswa di Yale University, hingga pada 1 September 1962 beliau bersama istrinya berangkat ke Amerika. Pada 1 November 1966, beliau menyelesaikan disertasinya yang berjudul Pemberontakan Petani Banten. Pada bulan Desember, akhrinya Sartono kembali lagi ke Indonesia bersama istrinya dan melakukan pengembangan ilmu sejarah di Universitas Indonesia.
Berikut beberapa karya-karya dari Sartono Kartodirjo: The Peasant Revolt of Banten in 1888, Agrian Radicalism, Sejarah Nasonal Indonesia, Elite dalam Perspektif Sejarah, Perkembangan Peradaban Priayi, Modern Indonesia Traditional & Transportation A Social-History, Indonesian historiography dan lain-lain.[1]
Â
Peran-peran Sartono bagi historiografi Islam di Indonesia
Setelah berakhirnya Perang Dunia II tepatnya pada tahun 1945, Sartono pada saat itu mendalami ilmu sejarah. Kemunculan negara-negara bara di Aafrika, Asia dan Amerika latin melatarbelakangi munculnya dekolonisasi terhadap penulisan sejarah. Sebelum Perang dunia II berakhir, sejarah ditulis berdasarkan orientasi pemerintah kolonial. Dekolonisasi penulisan sejarah tersebut terlalu berlebihan sehingga mengabaikan prosedur ilmiah dalam penelitian sejarah . Sartono yang hidup dalam kondisi demikian berkeinginan untuk menciptakan dasar historiografi Indonesiasentris yang penelitiannya sesuai dengan metodologi ilmu sejarah seperti mana yang berkembang di Barat waktu itu. Karena dasar itulah dia memutuskan untuk melanjutkan studinya pada ilmu sejarah di Universitas Yale dan Amsterdam pada dekade 1960-an.