Mohon tunggu...
Yuyun Yuniarti
Yuyun Yuniarti Mohon Tunggu... Guru - Hidup seperti berjalan di atas jembatan

Teu ngakal moal ngakeul- Teu ngarah moal ngarih- Teu ngoprek moal nyapek

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Renzo Edu Park-Holcim

18 Februari 2021   12:20 Diperbarui: 18 Februari 2021   12:42 3862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu pagi menyempatkan diri mencari udara segar dan pemandangan indah di sekitar tempat kami tinggal, bukan hal  susah. Karena kebetulan tinggal di daerah yang masih dikelilingi perbukitan. Salah satu tujuan kali ini adalah Renzo Edu Park atau Taman Dynamix (Cibadak Educational Forest) yang berjarak sekitar 2,4  km atau waktu lima menit dari tempat saya tinggal, atau sekitar 4,6 km dari  Pasar Cibadak waktu tempuh sekitar sebelas menit lalu lintas normal lewat Jalan Nasional III, berajarak 16,53 km dari kota Sukabumi  dan 37,31 km dari Kota Bogor.  Dari arah Cibadak atau dari Sukabumi lokasi berada di sebelah kiri jalan  dan di sebelah kanan jalan kalau dari arah Pelabuhan  Ratu. Masyarakat sekitar lebih mengenal lokasi tersebut dengan sebutan Holcim. Karena lokasi yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kampung Tanjungsari, Desa Sekarwangi, Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi Jawa Barat ini, dulunya adalah area tambang PT. Holcim Indonesia Tbk. 

PT Holcim telah melakukan tambang Silika selama 35 tahun sejak tahun 1975 di area tersebut, area ini dulu adalah bebatuan. Sekarang sisa-sisa bebatuannya masih terlihat terutama di lokasi yang lebih tinggi.  Area seluas 85 hektare ini sudah dilakukan penghijauan sejak tahun 2010 hingga saat ini, dengan luas area penanaman 5,15 hektar. PT Holcim bekerja sama dengan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor merehabilitasi lahan bekas tambang menjadi Hutan Pendidikan. Penanaman pohon juga sempat melibatkan siswa sekolah daerah sekitar.

Menemukan area ini tidak susah karena di pinggir jalan sebelum pintu gerbang akan ada petunjuk yang cukup jelas, bahkan kalau kebetulan naik angkutan umum atau angkot , ada beberapa angkot yang sengaja mengantar  sampai ke pintu gerbang atau kalau malas jalan kaki bisa naik kendaraan dan parkir di dalam lokasi. Tapi kebanyakan orang datang ke area ini  adalah jalan santai sampai ke atas bukit dan mencari udara segar. Masuk ke area ini gratis, kecuali kalau mau masuk ke arah cafe, kita harus membayar voucer sepuluh ribu rupiah perorang yang nantinya bisa ditukar atau menjadi voucer buat harga makanan yang kita beli.

Udara segar dan sepoi angin sudah menyambut sejak dari gerbang, barisan pohon yang rimbun membuat saya tidak percaya kalau lokasi ini dulunya adalah bekas tambang. Karena dalam imajinasi saya, tanah bekas tambang atau galian biasanya adalah tanah yang gersang, tandus, rusak dan terlantar, tapi bekas tambang ini berbeda. Sesuai misinya sebagai hutan pendidikan, pada pohon-pohon yang berjejer ditempel  informasi tentang para penemu yang sangat berjasa buat ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, sehingga pengunjung tidak cuma sekedar jalan tapi sambil baca-baca informasi tersebut. Cuman sayangnya kenapa harus dipaku di pohon-pohon ya. Mungkin lebih bagus kalau informasi-informasi tersebut ditancap di tanah saja seperti rambu-rambu lalu lintas gitu, memberi informasi tanpa merusak pohon.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Meskipun masih dalam proses pengembangan dan pembangunan fasilitas di sana sini, hutan pendidikan ini sudah menjadi primadona baru buat warga sekitar yang ingin melepas penat atau mencari udara segar bersama keluarga.  Saya lihat kelompok ibu-ibu senam juga memanfaatkan tempat ini sebagai lokasi senam hari minggu. Ada juga yang memanfaatkan tempat ini untuk sekedar jalan santai sampai ke atas bukit, atau lari pagi, bersepeda, bahkan sebagian orang memanfaatkan sebagai tempat botram. Botram adalah istilah kata dalam Bahasa Sunda yang merujuk pada tradisi makan bersama. Acara makan ini biasa dilakukan bersama-sama di sembarang tempat, bisa di kebun, sawah, pelataran rumah atau tempat lain dengan tujuan kebersamaan dan mengikat tali persaudaraan. 

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Beberapa meter dari gerbang, banyak penjaja makanan, wah bikin ngiler nih. Eiit tunggu dulu tujuan kami ke sini adalah mau cari keringat dengan jalan santai dan menghhirup udara segar, jadi jangan tergoda dulu sama makanan. Dari gerbang ada persimpangan jalan ke arah lurus dan ke arah kanan.  Kami memilih jalan yang lurus dulu  sambil memanjakan pandangan mata dengan hijau dedaunan, karena kalau ke  kanan itu ke arah cafe dan danau. Jalan yang kami lalui semakin lama semakin menanjak dan sesekali kami berpapasan sama tukang peuyeum (tape singkong) dan caruluk (kolang kaling) sebagai hasil pangan andalan penduduk daerah di bukit sana, setiap pagi mereka menuruni bukit memikul dagangannya untuk dijual. Sungguh pemandangan yang luar biasa. 

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Semakin menanjak dan semakin ke atas pemandangan semakin indah. Buat yang suka foto, tenang banyak spot foto alami yang sangat menakjubkan. Pagi yang sangat cerah, senyuman indah sang mentari menyapa kicauan burung yang hinggap diranting-ranting pohon pinus yang berbaris indah, setelah hari-hari sebelumnya hujan terus.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Setelah berjalan sekitar dua kilometer akhirnya sampai juga nih ke atas, tujuan kami  adalah batu yang menjadi spot foto paling favorite para pengunjung tempat ini. Dari atas batu ini, kita bisa memandang ke segala arah. Indahnya pemandangan dari atas.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Kalau hari minggu, lumayan ramai yang mau difoto di atas batu ini, sabar menunggu saja, nanti juga kebagian, karena setiap orang bisa berkali-kali berfoto di sini. Akhirnya tiba juga giriran kami gantian  berpose di atas batu ini. Dulunya tempat ini adalah gunung batu, berarti batu ini adalah saksi bisu yang menyaksikan teman-temannya ditambang oleh para penambang, dan dia bernasib baik masih bisa berdiri tegak sampai hari ini dan masih bisa bertemu saya..hehe. Kira-kira sudah berapa ratus tahun ya usia batu ini?

Setelah puas foto-foto di atas, kami kembali turun menyusuri jalan yang sama, menuju persimpangan jalan yang dekat gerbang tadi.  Di persimpangan kami jalan menuju ke arah cafe, sebenarnya tujuan kami bukan ke cafe sih, tapi ke danau. Dari cerita orang-orang di atas sana ada bekas galian yang digenangi air hujan dan menjelma menjadi danau yang kecil nan cantik. Tapi karena arah ke danau searah dengan cafe, jadi kami harus melewati dan mampir dulu di Cafe dan membeli voucer sepuluh ribu rupiah perorang di jalan masuk yangdi kasih palang, palang tersebut baru dibuka kalau kami sudah membeli vouchernya. Jadi jangan lupa bawa uang kalau ke sini.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Bagus juga sih idenya , setelah cape dari bukit bisa mampir di cafe untuk beristirahat sekalian pesan makanan dan minum, ada spot foto juga ternyata. Cafe Suwisse namanya, kami coba pesen teh hangat, somay dan roti bakar , enak juga .

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Dari Cafe kami melanjutkan perjalanan menuju danau, kira-kira dua kilometer jalan kaki. Di kiri kanan jalan menuju danau terlihat pohon-pohon jati yang sepertinya baru ditanam. Sepanjang jalan masih dilakukan penataan  dan pembangunan fasilitas.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Pemandangan indah menuju danau menyejukan mata, semakin ke atas angin terasa semakin kencang menggoyangkan ranting-ranting pinus, dan bersuara riuh. Burung-burung terbang bebas dan setelah lelah terbang kemudian bertengger di ranting pinus. Ada juga pemandangan langka  ibu-ibu yang sedang memunguti ranting-ranting pohon yang jatuh (ngarorotek, istilah dalam Bahasa Sunda)  untuk kayu bakar. 

Buat yang penasaran ingin tahu  jenis pohon apa saja  yang ditanam  di area ini. Ternyata ada infonya nih di papan informasi yang terpampang di area jalan menuju danau.  Ada 2.787 bibit tanaman di area ini dengan rincian sebagai berikut: Pinus ( Pinus Merkusii)  2.200 bibit, Bayur (Pterospermum javanicus) 15 bibit, Bintaro (Cerbera manghas) 8 bibit, Glodogan Tiang (Polyathea longifolia) 15 bibit, Akasia (Acacia manginum) 10 bibit, Bungur (Lagerstroemia indica) 35 bibit,  Meranti (Shorea leprosula) 98 bibit, Khaya (Khaya anthotheca) 25 bibit,  Mahoni (Swietenia mahagoni) 72 bibit, Kenari (Canariumindicum) 32 bibit, Mindi (Melia azedarach) 15 bibit, Melinjo  (Gnetum gnemon) 30 bibit, Longkida/Gempol (Nauciea orientalis) 5 bibit, Kayu Kuku (Pericopsis mooniana) 85 bibit, Kayu Bawang (Scorodocarpus borneensis) 62 bibit, Nyawai (Ficus fariegata) 60 bibit.

Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit, akhirnya kami pun tiba di danau. Masya Allah kami seperti menemukan danau atau lebih pas nya disebut telaga kali ya, karena definisi danau itu kan sejumlah air (tawar atau asin) yang terakumulasi di suatu tempat yang cukup luas karena mencairnya gletser , aliran sungai.  Sementara telaga adalah semacam danau yang kecil dimana sinar matahari masih dapat mencapai dasarnya. Apa pun namanya itu mau danau atau telaga, yang jelas telaga mungil ini benar-benar cantik, berada  di atas bukit dengan tumpukan batu-batu yang indah, seperti yang sering digambarkan dalam buku-buku cerita.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Lelahnya perjalanan pun terobati oleh pesona kecantikan telaga. Dari batu-batu yang ada di telaga, semakin jelas bahwa tempat ini dulunya adalah gunung batu, orang-orang sekitar sering menyebutnya Gunung Karang, mungkin karena warna batunya seperti batu karang yang ada di laut, apa memang ini sebenarnya batu karang, dan daerah ini dulunya, duluu sekali adalah laut. Mungkin saja sih

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Batu-batu besar dan kecil mengelilingi danau, air danau yang cukup jernih sehingga kita bisa melihat bayangan langit, pohon dan bebatuan dengan jelas. Sayang banget kalau keindahan ini tidak diabadikan. Setelah puas menikmati keindahan danau kami kembali turun menuju jalan pulang, sambil selalu foto-foto, karena setiap tempat di area ini adalah spot foto yang indah. 

Tidak terasa sekitar tiga jam, kami keliling-keliling dan singgah di tempat ini.   Ada banyak tulisan yang melarang buang sampah sembarangan bahkan tulisan "Cuma Monyet yang buang sampah sembarangan" di lokasi, tapi sayang belum disediakan tempat sampah, jadi tetap saja banyak orang yang masih membuang sampah sembarangan. Kami hanya menemukan tempat sampah di dekat gerbang masuk dan di area cafe. Sayang banget kan kalau tempat seindah ini dikotori dengan sampah apa lagi gelas-gelas plastik bekas minuman. Mudah-mudahakn untuk ke depannya disediakan lebih banyak lagi tempat sampah.

Konon area ini menjadi percontohan kawasan reklamasi pasca tambang tingkat nasional dan menjadi satu-satunya kawasan reklamasi eks pertambangan yang berhasil.  Sementara di tempat lain banyak bekas pertambangan pasir besi yang ditinggalkan begitu saja. Mudah-mudahan dengan adanya hutan pendidikan di area ini bukan hanya bernilai secara lingkungan tapi juga mampu memberiakn manfaat  dan mendorong perekonomian warga sekitar. Dan yang lebih penting lagi kesadaran semua pihak untuk merawat tempat yang indah ini, supaya selalu menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi. (yuniarfhz)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun