(kutulis ini dengan berurai air mata, di sepertiga malam pertama yang tak seperti biasanya, karena begitu saja wajahnya menari di anganku)
Telepon siang kemarin mungkin penyebabnya. Hanya bertukar kabar dan semua baik-baik saja. Berikutnya yang tertinggal adalah hempasan rasa yang tidak bisa aku enyahkan dari pikiran. Tentang dia. Seorang perempuan yang saat ini semakin sensitif karena hal-hal kecil, yang semakintafakur karena akhir-akhir ini temannya mulai tiada, dan katanya begitulah... kembali menjadi seperti anak kecil lagi setelah tua.
Empat puluh tahun berlalu sudah dan dipemikiranku dia tidak berubah, tetap tabah, kuat dan baik-baik saja. Masih kuingat bagaimana dia mengajariku banyak hal. Dengan caranya yang setengah memaksa, karena pada waktu itu mungkin aku lebih tertarik pada hal lain. Dan aku setengah hati mengikuti petunjuknya. Belum lagi doktrinasi yang sepertinya tak lelah dia lakukan. Perempuan harus bisa masak, nyuci, nyetrika, ngurus rumah. Belajar supaya pinter, biar nggak diremehkan orang. Harus bangun pagi. Harus begini... Harus begitu...Dan ketika aku remaja. Rasanya jarak makin terentang karena aku mulai menemukan dunia baru yang sangat berbeda dengan pemikirannya. Dia tahu kadang aku suka mengarang alasan supaya bisa keluar. Dia tahu kalau aku diam-diam masih saja surat-suratan sekalipun dia melarang. Dan dengan caranya dia memastikan bahwa aku tetap berada dalam pengawasannya. Sampai saatnya dia mengizinkan aku pergi ke Malang. Setiap libur semester aku pulang, badannya makin mengurus. Hari demi hari dilaluinya dengan tirakat, tidur setelah jam dua belas malam, puasa tiada henti dan baru berakhir ketika aku naik pelaminan.
Sesudahnya aku punya kehidupan sendiri. Menjalani hidup serupa deja vu. Aku jadi ibu anak-anakku seperti dia dulu. Aku memasak seperti dia memasakkan aku dulu. Aku mengajar seperti dia mengajar murid SDnya dulu. Esensi yang sama namun dengan fakta yang berbeda. Aku dalam kehidupan modern dengan segala hiruk pikuknya yang tentu sangat berbeda dengan masanya dulu. Aku dengan pemikiranku yang mungkin tidak sama dengan yang dia pikirkan. Pun untuk satu hal, paling rahasia dalam hidupku. Karena hanya aku yang merasakan. Menghirupnya sepanjang usiaku hingga sekarang. Dan aku tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan sehingga hanya mampu menelannya. Satu hal yang dulu, pernah menerbitkan rasa malu, kecewa, sakit... atau entah apa namanya. Bermula dari cemoohan : katanya dia merebut suami orang. Tuhan...Bersyukur itu hanya terbit dalam pemikiran liarku, karena kasih sayang, perhatian dan curahan cintanya yang tak berkesudahan membuatku menyimpulkan : dia tetap ibu terbaik untukku. Dan aku tak berhak menghakimi dia apapun alasannya. Sekalipun aku tak pernah paham, aku tidak ingin menambah luka hatinya karena stigma menjadi yang kedua itu sangat menyakitkan. Cukup bagiku dengan selalu mendoakannya, meminta ampun untuk kesalahannya. (Selamat ulang tahun bu... semoga panjang umur, selalu sehat dan bahagia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H