Mohon tunggu...
Siti Puryandani
Siti Puryandani Mohon Tunggu... -

menikmati indahnya hidup dengan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Korea

2 April 2013   21:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:50 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Ibu tahu gak? Korea Selatan sama Korea Utara lagi perang”, cerocos anak saya yang nomer dua saat menyongsong kedatangan saya. Sekilas saya lihat jarum jam di ruang makan menunjukkan angka tuju. Didera capek dan rintihan perut yang minta diisi, saya menjawab sambil lalu.

“Hmmm... begitu ya”

Bukannya diam, dia malah menguntit saya ke kamar, menunggui saya ganti baju sambil terus saja bicara tentang Korea.

“Padahal Korea Utara itu miskin lho. Palingan juga kalah kalau perang beneran”

“Dulu Jepang juga miskin” Saya menyahut sekenanya.

“Tapi sekarang kan nggak lagi. Korea Selatan juga kaya. Artisnya banyak. Terus mendunia gitu. Ibu tahu Gangnam style kan? Orang Amerika saja suka dengan tariannya. Pas kemarin aku potong rambut, mbak-mbak banyak yang minta potong Korea...” Bla bla bla dan masih saja tentang Korea.

“Itu salah satu industri kreatif yang diunggulkan Korea Selatan”

“Jadi kalau punya itu negaranya bisa kaya?”

Masih dengan centong ditangan saya mengiyakan kata-katanya. Dan dia, seperti yang sudah-sudah tidak akan berhenti begitu saja sebelum dia merasa puas dengan jawaban yang saya berikan.

“Sebetulnya apa sih yang bikin negara jadi kaya?” Lanjutnya lagi sambil menatap saya. Tuhan... andai wajah mahasiswa saya seantusias dia. Hiks... Sontak rasa lapar saya menguap. Saya berhenti mengambil lauk dan menjelaskan panjang lebar. Mulai dari bom atom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki, revolusi pendidikan di Jepang, industri otomotif dan politik dumping. Bla bla bla dan saya perhatikan dia serius mendengarkan saya. Meski sejujurnya saya tidak tahu apakah dia “mudheng” atau justru “mumet” mendengar penjelasan saya. Namun yang jelas, perbincangan tadi menyisakan rasa yang saya tidak tahu apa namanya, membuat dada terasa penuh sesak. Mungkin... suatu saat nanti saya tidak dapat memberikan penjelasan seperti yang dia inginkan, tapi saya yakin kalau kemarin, sekarang dan nanti saya akan tetap menjadi sumber referensi bagi dia. (I love you sweetheart)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun