Indonesia dikenal dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Salah satu bukti kekayaan alam di Indonesia adalah melimpahnya jenis bahan bakar fosil, yaitu batu bara. Posisi batubara sebagai komoditas di Indonesia agaknya sedikit banyak bertolak belakang apalagi jika dikaitkan dengan isu lingkungan, sumber energi, dan perekonomian. Maksudnya, jika dimplikasikan dengan isu lingkungan dan sumber energi, batubara dilabeli sebagai energi beremisi tinggi dan sumber polusi juga pencemaran lingkungan bahkan lebih buruk dibanding sumber energi fosil lain seperti minyak dan gas. Akan tetapi, jika kaitannya dengan ekonomi maka batubara dinilai patut mendapat gelar penopang utama devisa negara. Pernyataan tersebut dibuat karena Indonesia merupakan eksportir batubara terbesar di Dunia. Di Indonesia, cadangan batubara tersedia dalam jumlah banyak.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memanfaatkan batubara sebagai salah satu bahan yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik. Lengkapnya, PLTU merupakan sebuah sistem yang fungsinya mentransmutasikan energi kimia dari bahan bakar menjadi energi listrik. Sehingga dalam pengelolaan energi kimia menjadi energi listrik oleh PLTU, batubara menjadi komponen paling penting. Akan tetapi, selain menghasilkan emisi limbah penyediaan listrik berbahan dasar batubara juga menghasilkan fly ash dan bottom ash (FABA).
FABA juga lazim disebut sebagai produk pembakaran batubara (Coal Combustion Products) atau biasa disingkat CCPs. Fly ash dan bottom ash (FABA) yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara di PLTU dengan menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) dikategorikan sebagai limbah non B3. Sementara itu, FABA dari hasil proses pembakaran fasilitas stoker boiler atau tungku industri tetap terkategori sebagai limbah B3. Limbah B3 adalah sisa kegiatan yang mengandung bahan berbahaya atau beracun karena sifat dan konsentrasinya dapat mencemari atau merusak lingkungan hidup, kesehatan, dan berbahaya bagi kelangsungan hidup makhluk lain. Perbedaan kategorisasi limbah B3 dan non B3 terjadi karena proses pembakaran batubara di PLTU dengan yang dilakukan di tungku industri atau stoker boiler berbeda. Pada proses pembakaran batubara di
PLTU dilakukan dalam temperatur tinggi sehingga kandungan unburnt carbon dalam FABA sudah diminimalisir dan lebih stabil saat disimpan. Sementara itu, proses pembakaran batubara yang dilakukan di tungku industri atau stoker dan boiler menggunakan temperatur rendah sehingga memungkinkan kandungan unburnt carbon dalam FABA-nya mash tinggi dan belum stabil.
Pengelolaan limbah PLTU berupa fly ash dan bottom ash (FABA) telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
Bukan perjalanan yang cepat sampai FABA resmi dikategorikan sebagai limbah non B3. Beragam penelitian dan pengujian dilakukan baik oleh akademisi maupun pihak PLN sendiri demi membuktikan bahwa unsur-unsur kimia yang terdapat dalam limbah FABA di Indonesia mash dalam batas aman. Sebelum dikategorikan sebagai limbah non B3 sudah ada beberapa pihak yang memanfaatkan FABA, akan tetapi pemanfaatannya dinilai belum optimal karena regulasi yang rumit dan biaya yang dibutuhkan tergolong besar. FABA lazimnya dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, meliputi industri semen atau industri konstruksi sipil. Sebenarnya, di negara-negara lain FABA telah lama dimanfaatkan dan dikategorikan sebagai limbah non B3. Belanda, Jepang, Amerika, China, dan India merupakan negara-negara yang lebih dulu menetapkan bahwa FABA tidak termasuk ke dalam limbah B3 dan pemanfaatannya sudah maksimal. Berkaca dari negara lain dan potensi yang dimiliki FABA membuat institusi dan lembaga-lembaga terkait gencar mendorong pemerintah terutama KLHK untuk mengubah regulasi mengenai perubahan status FABA menjadi limbah non B3. Antusiasme institusi dan lembaga bukan semata-mata tanpa alasan yang kuat. lantaran biaya penanganan limbah FABA yang harus dikeluarkan oleh PLN mencakup biaya pengelolaan mulai dari transportasi, penyimpanan sementara, hingga proses penimbunan sangatlah besar.
Maka dari itu, dorongan untuk mengubah status FABA menjadi limbah non B3 terus-menerus dilakukan. Sampai akhirnya rangkaian upaya yang tidak sedikit tersebut menemukan jalan keluar dengan ditetapkannya FABA sebagai limbah non B3 pada tahun 2021 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22.
Pasca penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2021 mulai terjadi kenaikan pemanfaatan
FABA. Meskipun regulasinya telah diubah namun persyaratan pengelolaan FABA tetap tidak boleh asal dan harus memenuhi standar yang diterapkan. Pada fase ini, FABA mulai dimanfaatkan dengan cara yang beragam mulai dari dijadikan campuran bahan pembuatan jalan, diuji sebagai bahan baku pembuatan pupuk, hingga dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur Pemerintah Daerah. Inovasi mengenai pembuatan jalan berbahan dasar FABA yang diklaim ramah lingkungan dan pupuk dari FABA bahkan sudah didaftarkan pada katalog karya inovasi atas nama PLN. Implementasi inovasi yang dibangun di divisi-divisi perusahaan PLN secara operasional telah mendatangkan keuntungan secara finansial maupun non finansial. Peningkatan Profit atau nilai tambahan akibat inovasi meliputi peningkatan efisiensi, penurunan tingkat panas pembangkit, waktu pemeliharaan yang semakin efektif, ketersediaan meningkat, dan penurunan kehilangan distribusi. Sementara itu, manfaat non finansial yang diperoleh meliputi pencemaran lingkungan yang dapat diminimalisir, akuntabilitas dan transparansi meningkat, serta peningkatan produktivitas dan integritas. Dari kasus ini dapat dilihat bahwa kolaborasi antara peneliti, pemerintah melalui regulasi, dan perusahaan berdampak positif bukan hanya untuk produktivitas perusahaan tetapi juga untuk lingkungan.
Inovasi yang diusung oleh institusi dan lembaga terkait didukung dengan regulasi yang mendukung telah berhasil membuat FABA menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi. Hal ini memberikan efek domino sampai ke masyarakat. Salah satunya dengan pelibatan UMKM dalam pemanfaatan limbah FABA sebagai bahan baku paving blok atau batako. Pemanfaatan FABA membuka peluang baru bagi masyarakat dan berpotensi membuka lapangan kerja baru seiring dengan jumlah FABA yang semakin meningkat. Bagi UMKM yang memang sebelumnya sudah memproduksi batako dan paving blok dari bahan konvensional dengan beralih ke FABA dapat mengurangi biaya bahan baku dan berpotensi meningkatkan laba UMK. Usaha di bidang bahan konstruksi rasanya mash sangat menguntungkan dinilai dari banyaknya pembangunan yang dilakukan saat ini.
Masifnya pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta berdampak pada permintaan produk-produk infrastruktur yang ikut meningkat. Kesempatan pembangunan seperti ini dapat menjadi peluang bagi masyarakat sehingga bisa ikut merasakan dampak pembangunan. Salah satu kesempatan yang terbuka bagi masyarakat adalah dengan memanfaatkan limbah FABA dari PLTU sebagai bahan dasar untuk pembuatan paving, batako, dan lain sebagainya. FABA adalah abu sisa dari proses pembakaran batubara. Partikel halus yang naik dan terbang dinamakan fly ash, sementara terendap disebut bottom ash. Meskipun sudah dikategorikan sebagai limbah non B3, tetapi persyaratan pengelolaan FABA tetap harus memenuhi standar yang ditetapkan dan dicantumkan dalam persetujuan dokumen lingkungan. Pemanfaatan limbah FABA sebagai bahan baku dasar pembuatan paving dan batako merupakan salah satu inovasi yang memiliki keuntungan berlipat.
Pertama, Limbah hasil pengolahan dapat berkurang sehingga dampaknya bagi lingkungan dapat diminimalisir pula. Lalu selanjutnya masyarakat menjadi berdaya dengan ilmu baru mengelola limbah FABA yang juga berdampak pada kegiatan ekonomi dan keberdayaan ekonomi masyarakat. Melihat dampak positif dari pengelolaan limbah non B3 FABA seperti yang telah diuraikan sebelumnya mulai dari pengurangan biaya pembuangan, peningkatan ekonomi masyarakat, hingga meminimalkan pencemaran lingkungan program pengelolaan limbah FABA dari PLTU layak dan patut untuk diapresiasi dan dimplementasikan di lebih banyak daerah di Indonesia.
Pemanfaatan FABA sebagai inovasi pengelolaan limbah yang diinisiasi oleh PLN dapat dikategorikan sebagai salah satu implementasi SDGs poin ke-9 yakni "Industri, Inovasi, dan Infrastruktur". SDGs atau Sustainable Development Goals atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah rencana pembangunan yang disepakati oleh pimpinan dunia untuk mengatasi masalah yang ada. Terdapat 17 tujuan dan 169 target capaian dalam SDGs yang mencakup dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan. Tujuh belas tujuan yang termasuk ke dalam tujuan pembangunan berkelanjutan adalah 1) Tanpa kemiskinan, 2) Tanpa kelaparan, 3) Kehidupan sehat dan sejahtera, 4)pendidikan berkualitas, 5) Kesetaraan gender, 6) Air bersih dan sanitasi layak, 7) Energi bersih dan terjangkau, 8) Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, 9) Industri, inovasi dan infrastruktur, 10) Berkurangnya kesenjangan, 11) Kota dan pemukiman berkelanjutan, 12) Konsumsi dan produksi berkelanjutan, 13) Penanganan perubahan iklim, 14) Ekosistem kelautan, 15) Ekosistem daratan, 16) Perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh, dan yang terakhir 17) Kemitraan untuk mencapai tujuan.
Tujuan ke-9 yaitu Inovasi, Industri, dan Infrastruktur dinilai sesuai dengan topik yang diangkat dalam essay ini.
Perkembangan industri batubara yang mana menjadi penopang devisa utama Indonesia didukung dengan inovasi yang bukan hanya memberi profit bagi perusahaan melainkan juga masyarakat dan lingkungan.
Untuk
mengurangi jejak ekologi dan meminimalisir dampak lingkungan yang diakibatkan oleh proses pembakaran batubara oleh PLTU, PLN berhasil menciptakan sebuah inovasi yang tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga pada keberdayaan ekonomi masyarakat. Aksi yang dilakukan PLN sebagai perusahaan terkait pengelolaan limbah sudah menunjukkan produksi yang berkelanjutan. Metode yang digunakan memiliki keuntungan, yaitu salah satunya dapat mengurangi tiupan atau debu pada saat pengangkatan melalui truk. Tidak hanya itu, pemanfaatan FABA juga efektif mengurangi kemungkinan terjadinya over capacity di landfill tempat pembuangan limbah. Sehingga gerakan yang merupakan perjuangan panjang karena awalnya FABA masih dikategorikan sebagai limbah B3 sangat pantas untuk menjadi contoh implementasi dari tujuan SDGs ke-9.
Tidak sampai disitu, selain mengurangi dampak lingkungan pemanfaatan FABA juga berperan dalam keberdayaan ekonomi masyarakat. Pernyataan ini dibuat karena limbah FABA dari PLTU di masing-masing daerah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan batako dan/atau paving. PLN bekerjasama dengan UMKM lokal untuk membuat batako berbahan dasar FABA. Keuntungan ini yang dinilai paling menguntungkan karena dapat memberdayakan masyarakat melalui transfer ilmu baru dan keuntungan ekonomi yang didapat masyarakat.
Pada bahan bacaan yang tersedia dicantumkan bahwa pembuatan bahan-bahan konstruksi dengan berbahan dasar
FABA terbukti memiliki nilai ekonomis dan menguntungkan bagi UMKM yang menjadi mitra. Dengan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan limbah FABA menjadi bahan baku konstruksi juga sesuai dengan tujuan ke-12 dalam tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan..
Karena inovasi yang dilahirkan dapat digunakan untuk membuat jalan ramah lingkungan, rumah, dan lain sebagainya. Kehadiran inovasi ini berdampak signifikan terhadap proses akhir dari pengelolaan FABA. FABA yang awalnya dikumpulkan di satu tempat dan dibiarkan menumpuk kini dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sehingga terbukti dengan pemanfaatan FABA pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah sisa PLTU dapat berkurang. Tak ketinggalan juga berdampak positif bagi masyarakat yang bermitra sehingga keuntungan yang diperoleh bukan hanya untuk perusahaan.
Meski begitu, Pengelolaan FABA sebagai bahan baku dasar konstruksi belum merata di seluruh daerah di Indonesia. Melihat bagaimana cerita sukses yang dipaparkan oleh UMKM yang telah menggunakan FABA sebagai bahan baku pembuatan batako dan paving blok, program ini layak untuk diterapkan di setiap PLTU yang ada di Indonesia. Dampak yang diharapkan adalah membuka lapangan pekerjaan baru, meningkatkan keuntungan UMKM, mengurangi biaya pengelolaan untuk perusahaan, dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H